BAB I . PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang.
Tanggal
12 Oktober 2014, Protokol Nagoya mulai berlaku. Protokol dapat berlaku dan
berkekuatan penuh karena sudah ditandatangani lebih dari 50 negara dan telah 90
hari diterima Sekretaris Jenderal PBB. Indonesia
telah meratifikasi Protokol Nagoya pada 8 Mei 2013 dengan Undang-Undang Nomor
11 Tahun 2013, hanya dua tahun setelah protokol tersebut ditandatangani. Dengan
demikian, Indonesia menjadi negara ke-26 yang meratifikasi. Protokol Nagoya
mengatur akses pada sumber daya genetika dan pembagian keuntungan yang adil
dari pemanfaatannya atas Konvensi Keragaman Hayati.
Implikasi
dari diterimanya protokol ini cukup banyak bagi Indonesia yang selain menjadi
penanda tangan protokol juga mempunyai keragaman hayati sangat tinggi di dunia.
Akan ada pengaturan pemanfaatan dan perdagangan keragaman hayati secara global,
termasuk pembagian keuntungan, persetujuan transfer yang menguntungkan, dan
pemberitahuan kepada pemangku kepentingan, alih teknologi, dan lain-lain.
Sebagai
negara yang keragaman hayatinya setara dengan Brasil di Benua Amerika dan Zaire
atau Republik Demokratik Kongo di Afrika, sepantasnya kita bersiap diri
menyongsong pemberlakuan protokol ini dengan penguatan bidang sains dan
teknologi mengenai biodiversitas. Sumber daya genetika Indonesia sangat tinggi
karena kita mempunyai 10 persen tumbuhan berbunga di dunia, selain mempunyai 15
persen jumlah serangga, 25 persen spesies ikan, 16 persen jumlah amfibi dan
reptil, 17 persen burung, dan sekitar 12 persen mamalia di dunia.
Kalau
tidak menguatkan kompetensi di bidang itu, kita akan menerima banyak sekali
pakar biologi dan ilmu sejenisnya dari luar negeri yang memanfaatkan peluang di
Indonesia. Apalagi pada 2015 kita akan memasuki komunitas ASEAN dan penerapan
Sustainable Development Goal.
Pengaturan
dalam Protokol Nagoya bertujuan memberi akses dan pembagian keuntungan terhadap
pemanfaatan sumber daya genetika dan pengetahuan tradisional, termasuk
pemanfaatan produk turunannya (derivatif). Tujuan lain, mencegah pencurian
sumber daya genetika atau biopiracy. Akses terhadap sumber daya tetap
mengedepankan kedaulatan negara dan disesuaikan dengan hukum nasional.
B.
Tujuan
Adapun tujuan dari
penulisan malakah ini adalah untuk mengetahui prospek dan tantangan protokol
Nagoya atas pemanfaatan sumber daya genetik mikroorganisme di Indonesia.
BAB II . TINJAUAN PUSTAKA
1.
Protokol
Nagoya
Protokol Nagoya terdiri atas 36
(tiga puluh enam) pasal dan 1 (satu) lampiran. Materi pokok Protokol Nagoya
mengatur hal-hal sebagai berikut:
a. ruang lingkup Protokol Nagoya
adalah pembagian keuntungan yang adil dan seimbang dari setiap pemanfaatan
terhadap sumber daya genetik dan pengetahuan tradisional yang berkaitan dengan
sumber daya genetik;
b. pembagian keuntungan, finansial
dan/atau non finansial, yang adil dan seimbang dari setiap pemanfaatan sumber
daya genetik dan pengetahuan tradisional diberikan berdasarkan kesepakatan
bersama (Mutually Agreed Terms);
c. akses pada sumber daya genetik dan
pengetahuan tradisional yang berkaitan dengan sumber daya genetik yang
dilakukan melalui persetujuan atas dasar informasi awal (Prior Informed Consent/PIC) dari penyedia sumber daya genetik;
d. penyederhanaan prosedur akses pada
sumber daya genetik untuk penelitian nonkomersial dan pertimbangan khusus akses
pada sumber daya genetik dalam situasi darurat kesehatan, lingkungan, dan
pangan;
e. mekanisme pembagian keuntungan
multilateral global (global multilateral benefit sharing) terhadap
pemanfaatan sumber daya genetik dan
pengetahuan tradisional yang bersifat lintas negara;
f. mekanisme kelembagaan diatur
dengan:
1. penunjukkan satu atau beberapa National Competent Authority (NCA)
sebagai institusi yang berwenang memberikan izin akses, penentuan kebijakan prosedur
akses, dan persyaratan dalam persetujuan atas dasar informasi awal serta
kesepakatan bersama; dan
2.
penunjukkan
Pumpunan Kegiatan Nasional (National
Focal Point) yang berfungsi sebagai penghubung Para Pihak dengan
Sekretariat Konvensi Keanekaragaman Hayati. Pumpunan Kegiatan Nasional dapat
juga berfungsi sebagai NCA;
g.
pembentukan Balai Kliring Akses dan pembagian keuntungan
yang merupakan sistem basis data yang berfungsi sebagai sarana pertukaran
informasi terhadap akses sumber daya genetik dan pembagian keuntungan atas
pemanfaatan sumber daya genetik;
h.
penaatan
terhadap peraturan perundang-undangan nasional mengenai akses dan pembagian
keuntungan terhadap pemanfaatan sumber daya genetik dan pengetahuan tradisional
terkait dengan sumber daya genetik;
i.
pemantauan
dilakukan melalui penunjukkan pos pemeriksaan (checkpoints) pada semua level, yaitu penelitian, pengembangan,
inovasi, prekomersialisasi, atau komersialisasi serta adanya sistem sertifikasi
yang diakui secara internasional;
j.
penaatan
terhadap kesepakatan bersama
penyedia (provider) dan pemanfaat (user)
sumber daya genetik harus menaati kesepakatan dalam kontrak atas pemanfaatan
sumber daya genetik khususnya klausul penyelesaian sengketa, akses terhadap
keadilan (access to justice), pilihan
hukum dan pilihan forum penyelesaian sengketa;
k.
model
klausul kontrak kesepakatan bersama
Negara Pihak mendorong
pengembangan, pemutakhiran, dan penggunaan model klausul kontrak dalam
kesepakatan bersama;
l.
kode
etik, pedoman dan praktik terbaik, dan/atau standar
Negara Pihak mendorong
pengembangan, pemutakhiran, dan penggunaan kode etik sukarela, pedoman dan
praktik-praktik terbaik dalam kaitannya dengan akses dan pembagian keuntungan
terhadap pemanfaatan sumber daya genetik;
m. peningkatan kesadaran
Negara Pihak melakukan upaya untuk
meningkatkan kesadaran akan pentingnya sumber daya genetik dan pengetahuan
tradisional yang berkaitan dengan sumber daya genetik, dan isu-isu terkait
dengan akses dan pembagian keuntungan;
n.
peningkatan
kapasitas
Negara Pihak bekerja sama dalam
pengembangan kapasitas sumber daya manusia dan kelembagaan, antara lain
pengembangan:
1.
kapasitas
untuk mengimplementasikan dan untuk mematuhi kewajiban-kewajiban dalam Protokol
Nagoya;
2.
kapasitas
untuk menegosiasikan kesepakatan bersama;
3.
kapasitas
untuk mengembangkan, mengimplementasikan dan menegakkan langkah-langkah
legislatif, administratif atau kebijakan nasional tentang akses dan pembagian
keuntungan; dan
4.
kapasitas
untuk mengembangkan kemampuan penelitian endogen untuk menambahkan nilai pada
sumber daya genetik.
o.
transfer
teknologi, kolaborasi, dan kerja samaNegara Pihak meningkatkan dan mendorong
akses terhadap teknologi dan transfer teknologi untuk pengembangan dan
penguatan teknologi. Negara pemanfaat sumber daya genetik harus mengembangkan
kegiatan kerja sama dengan negara asal sumber daya genetik;
p.
prosedur
dan mekanisme untuk mempromosikan penaatan Protokol Nagoya Konferensi Para
Pihak mempertimbangkan dan menyetujui prosedur kerja sama dan mekanisme
kelembagaan untuk meningkatkan penaatan dan penanganan kasus ketidaktaatan
terhadap substansi Protokol Nagoya.
Pengesahan Protokol Nagoya merupakan tahap awal menuju
keanggotaan Indonesia sebagai negara Pihak pada Protokol Nagoya. Manfaat yang
dapat diperoleh dari keanggotaan ini antara lain adalah sebagai berikut:
- Menegaskan
penguasaan negara atas sumber daya alam dan kedaulatan negara atas
pengaturan akses terhadap SDG dan pengetahuan tradisional dari masyarakat
hukum adat dan komunitas lokal, sejalan dengan Pasal 33 dan Pasal 18 UUD
RI 1945;
- Mencegah
biopiracy dan pemanfaatan tidak sah (illegal utilization)
terhadap keanekaragaman hayati;
- Menjamin
pembagian keuntungan (finansial maupun non-finansial) yang adil dan
seimbang atas pemanfaatan SDG dan pengetahuan tradisional yang berkaitan
dengan SDG kepada pemilik atau penyedia SDG; dan
Menciptakan peluang
untuk akses alih teknologi pada kegiatan konservasi dan pemanfaatan
keanekaragaman hayati secara berkelanjutan.
2.
Manfaat
Protokol Nagoya
Adapun manfaat yang diperoleh
Indonesia melalui pengesahan Protokol Nagoya, antara lain:
1.
Melindungi
dan melestarikan sumber daya genetik dan pengetahuan tradisional yang berkaitan
dengan sumber daya genetik.
2.
Mencegah
pencurian (biopiracy) dan pemanfaatan
tidak sah (illegal utilization) terhadap keanekaragaman
hayati.
3.
Menjamin
pembagian keuntungan (finansial maupun non finansial) yang adil dan seimbang
atas pemanfaatan sumber daya genetik dan pengetahuan tradisional yang berkaitan
dengan sumber daya genetik kepada penyedia sumber daya genetik berdasarkan
kesepakatan bersama (Mutually Agreed
Terms).
4.
Meletakkan
dasar hukum untuk mengatur akses dan pembagian keuntungan yang adil dan
seimbang atas pemanfaatan sumber daya genetik dan pengetahuan tradisional
terkait sumber daya genetik berdasarkan kesepakatan bersama.
5.
Menguatkan
penguasaan negara atas sumber daya alam sebagaimana diamanatkan Pasal 33
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan mengakui
keberadaan masyarakat hukum adat dan hak-hak tradisional sesuai dengan Pasal 18
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
6.
Menegaskan
kedaulatan Negara atas pengaturan akses terhadap sumber daya genetik dan
pengetahuan tradisional yang berkaitan dengan sumber daya genetik.
7.
Memberikan
insentif dan dukungan pendanaan sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.
8.
Menciptakan
peluang untuk akses alih teknologi pada kegiatan konservasi dan pemanfaatan
keanekaragaman hayati secara berkelanjutan.
3.
Rentannya
Pembajakan Pengelolaan Sumber Daya Hayati
Kekayaan sumber
daya hayati memang perlu dikelola sekaligus dilindungi karena rentan pembajakan
hayati, terutama oleh negara-negara maju. Perusahaan dari negara maju kerap
mengambil sumber daya genetika tanpa izin. Indonesia pun pernah mengalami
praktik serupa. Banyak sekali sumber daya genetika, seperti obat, bahan
industri, dan pangan, dipatenkan perusahaan dan pakar luar negeri.
Sumber daya
genetika itu menjadi tujuan peneliti luar negeri karena materi genetika kita
sangat tinggi. Data menunjukkan, 9 dari 10 obat-obatan yang diproduksi berasal
dari materi genetika (Dobson 1995).
Ini sejalan
dengan hasil penelitian lain, yaitu dari 150 obat-obatan yang diresepkan dokter
di Amerika Serikat, 118 jenis berbasis sumber alam, yaitu 74 persen dari
tumbuhan, 18 persen jamur, 5 persen bakteri, dan 3 persen vertebrata seperti
ular. Nilai obat-obatan dari bahan alam mencapai 40 miliar dollar AS per tahun.
Keahlian
memanfaatkan tumbuhan sebagai bahan baku obat penting dalam pengembangan obat.
Industri obat-obatan yang menggunakan bahan tradisional (jamu) termasuk industri
tangguh dan permintaan akan bahan tradisional di negara maju semakin meningkat.
Maka dari itu, Indonesia sangat mengharapkan keuntungan dari pemanfaatan sumber
daya alam genetika ini.
Hal itu dapat
dicapai melalui kerja sama yang melibatkan masyarakat setempat, swasta, dan
lembaga internasional dalam penelitian sehingga keuntungan dapat terbagi merata
dan dinikmati bersama.
Seiring dengan
gencarnya usaha industri farmasi dalam mencari sumber baru bahan baku kimia
tumbuhan untuk mengembangkan obat, industri memusatkan perhatian pada negara
dengan keragaman hayati tinggi seperti Indonesia. Berarti Indonesia dapat turut
berpartisipasi dalam pertukaran barang, informasi, dan teknologi ke pasar
dunia.
Negara industri
maju perlu memenuhi kebutuhan sumber daya alam untuk kepentingan ekonomi,
tetapi sebagian besar sumber daya hayati ada di negara berkembang. Sangat jelas
bahwa kerja sama antarnegara sangat dibutuhkan untuk
mengatasinya. Indonesia dapat menjalin kerja sama dengan industri farmasi
internasional melalui dua cara.
Pertama,
mengurangi peran bioprospeksi menjadi sekadar alat pencari uang. Namun, ekspor
dan eksploitasi sumber daya alam skala besar dapat menyebabkan menurunnya
persediaan bahan baku alam tanpa menghasilkan keuntungan dan teknologi apa pun.
Dengan dukungan dari Konvensi Keragaman Hayati, pilihan kedua adalah mengelola
secara komersial sumber daya alam yang dapat menghasilkan keuntungan buat
masyarakat dan penduduk lokal.
Selain
peluang, terdapat pula tantangan bagi Indonesia. Paling tidak terdapat dua
tantangan Indonesia. Pertama, pembentukan otoritas nasional pengelolaan dan
perlindungan sumber daya di Indonesia. Bentuk kelembagaan ini bersifat
multisektor karena sifat sumber daya genetika di berbagai habitat yang mencakup
perairan dan kelautan, pertanian, kehutanan, serta penelitian/ilmu pengetahuan.
Keanggotaan lembaga terdiri dari pemangku kepentingan dan instansi terkait.
Kedua, pembentukan standar baku atau prosedur operasi standar (SOP) naskah
akses dan pembagian manfaat sumber daya genetika serta perjanjian transfer
materi biologik (material transfer agreement).
4. Perlunya
Sinergitas dalam Pengelolaan
Sinergi institusi
pengelola perlu agar tercipta tata kelola dan perlindungan sumber daya genetika
di Indonesia yang holistik. Langkah selanjutnya adalah kerja keras dari negara
dan masyarakat untuk mewujudkannya. Tanpa sinergi antara negara dan masyarakat,
amat sukar untuk mewujudkan tata kelola dan perlindungan sumber daya genetika
yang holistik di Indonesia.
Pembangunan
industri yang memiliki nilai tambah sangat penting untuk membangun kapasitas di
bidang teknologi. Meliputi pelayanan yang berhubungan dengan identifikasi
sampel, ekstraksi kimia, dan investigasi sampel.
Penambahan
nilai pada sumber daya biologi tidak saja meningkatkan kapasitas teknologi,
tetapi juga meningkatkan kompensasi perekonomian.
Misalnya,
di industri farmasi keuntungannya 1-6 persen untuk sampel yang belum
diidentifikasi, 5-10 persen untuk sampel yang telah diidentifikasi, dan 10-15
persen untuk sampel yang memiliki informasi ilmiah. Penguatan kapasitas ilmiah
dan teknologi di Indonesia dapat mendukung formulasi kerja sama dengan industri
di negara maju dan juga menempatkan Indonesia untuk mengendalikan sendiri
sumber daya alamnya.
Apakah
perjanjian ini akan bermanfaat bagi Indonesia? Tentu saja ya. Keanggotaan ocal
akan menegaskan penguasaan ocal atas sumber daya genetika serta kedaulatan ocal
atas pengaturan akses dan pengetahuan tradisional dari masyarakat ocal adat dan
komunitas ocal, sejalan dengan Pasal 33 dan Pasal 18 UUD 1945. Selain itu, juga
mencegah biopiracy dan pemanfaatan tidak sah (illegal utilization)
terhadap keragaman hayati.
5. Konsep
Akses dan Pembagian Keuntungan.
Akses dan pembagian keuntungan (acces and benefit sharing)
merupakan cara yang digunakan untuk mendapatkan akses ke sumber daya genetik
dan bagaimana pembagian keuntungan yang diperoleh baik Negara penyedia termasuk
didalamnya masyarakat adat pemilih sumber daya genetik dengan pengguna sumber
daya genetik yang antara lain adalah industry. Ketentuan mengenai akses dan
pembagian keuntungan dirancang untuk menjamin bahwa akses kepada sumber daya
genetikdapat difasilitasi dan keuntungannya yang didapat dari
pemanfaatannyadibagi secara adil dan seimbang dengan pihak penyedia.
Akses dan pembagian keuntungan atas pemanfaatan sumber daya genetik
menjadi salah satu tujuan konversi Keanekaragaman Hayati (Convetion in
Biological Diversity). Pemerintahan dari Negara-negara yang telah
meratifikasi mempunyai dua tanggung jawab kunci. Yaitu:
1.
Menyediakan system yang
menfasilitasi akses terhadap sumber daya genetik untuk tujuan berorientasi
terhadap lingkungan.
2.
Menfasilitasi bahwa keuntungan
yang dihasilkan dari pemanfaatan dibagi secara adil dan seimbang antara
pengguna dan penyedia.
6. Konsep
Pembagian Keuntungan.
a)
Pembagian keuntungan berdasarkan
naskah akademik. Rancangan Undang-Undang tentang perlindungan Sumber Daya
Genetik, sebagai berikut:
1.
Perlindungan
untuk sumber daya genetik;
2.
Pembagian
mengenai informasi dan pengetahuan;
3.
Kompensasi
untuk pemanfaatan langsung;
4.
Akses
kepada teknologi;
5. Upaya
pengembangan langsung;
b)
pembagian keuntungan Sumber Daya
Genetik harus mempertimbangkan dan memperhatikan hal-hal sebagai berikut:
1.
kepemilikan sumber daya genetik,
akan menentukan kepada siapa hasil pemanfaatan sumber daya genetik tersebut
harus dibagikan. Kepemilikan secara garis besar dapat dibagi menjadi bagian,
yaitu: pemerintah, masyarakat, dan individu.
2.
Jenis keuntungan atau manfaat
yang akan dibagikan, keuntungan atau manfaat langsung berupa uang, keuntungan
atau manfaat tidak langsung yang tidak berupa uang yaitu berupa teknologi dan
pengetahuan.
3.
Pemberlakuan hak kekayaan
intelektual sebagai mekanisme keuntungan.
4.
Kerangka waktu pembagian
keuntungan/manfaat.
5.
Penguatan kelembagaan (dengan
mengikut sertakan lembaga berwenang di tingkat nasional dalam tata cara akses
agar kelak dapat memonitor akses tersebut).
6.
Pemberlakuan system royalty,
sekalipun akses telah berhenti, apabila masih ada hak kekayaan intelektual yang
terkait di dalamnya, maka pembagian royalty akan terus berjalan.
c)
Pembagian keuntungan atas
pemanfaatan sumber daya hayati ada dua bentuk yaitu:
1.
Keuntungan moneter antara lain
uang royalty dan,
2.
Keuntungan nonmoneter atara lain capacity
building, pelatihan, pendidikan dan teknologi.
Dalam
praktek diberbagai Negara di Dunia, pembagian keuntungan dilakukan melalui
perjanjian antara para pihak. Negara yang menerapkan perjanjian dalam pembagian
keuntungan antara lain, Kani People India, Thee Tropical Botanic Garden and
Research Institute (TBGR) in kerala.tentang pengembangan obat-obatan jeevani
dari suku Kani. Di Indonesia pun, mekanisme akses dan pembagian keuntungan
seringkali ditentukan dengan perjanjian kerjasama antara lain kerjasama
penelitian baik antar lembaga penelitian, Universitas, maupun swasta dalam
negri dengan pihak di luar negri.
BAB.
III HASIL DAN PEMBAHASAN
1. Prospek Protokol Nagoya
Kementerian Lingkungan Hidup (KLH) menyelenggarakan Sosialisasi Undang-Undang
(UU) Nomor 11 Tahun 2013 tentang Pengesahan Protokol Nagoya. Hanya dalam kurun
waktu 2 tahun sejak penandatanganan Protokol Nagoya pada 11 Mei 2011,
Pemerintah Indonesia pada 8 Mei 2013 telah menetapkan Undang-Undang Nomor 11
Tahun 2013 tentang Pengesahan Protokol Nagoya tentang Akses pada Sumber Daya
Genetik dan Pembagian Keuntungan yang Adil dan Seimbang yang timbul dari
Pemanfaatannya atas Konvensi Keanekaragaman Hayati. Indonesia meratifikasi
Protokol Nagoya mengikuti 15 negara lain yang telah meratifikasi dan menjadi
Negara Pihak dari Protokol ini. Sampai saat ini, dari 92 negara yang telah
menandatangani Protokol Nagoya, tercatat 26 negara termasuk Indonesia telah
meratifikasinya. Namun demikian, Protokol Nagoya belum dapat diberlakukan karena
sesuai dengan Pasal 33, Protokol Nagoya akan berlaku pada hari ke-90 setelah
diterimanya instrument of ratification, acceptance atau approval ke-50 oleh
Sekretaris Jenderal PBB sehingga masih memerlukan 24 ratifikasi lagi agar
Protokol Nagoya dapat diberlakukan.
Dalam sambutannya, Deputi V KLH Bidang Penaatan Hukum Lingkungan, Drs.
Sudariyono, mengatakan, “Dengan adanya pengesahan Protokol Nagoya apabila ada
pihak asing ingin meneliti, memanfaatkan atau mengembangbiakkan berbagai jenis
tanaman, hewan atau obat-obat tradisional, maka mereka wajib membayar harga
kepada pihak Indonesia”. Protokol Nagoya sangat menguntungkan Indonesia
mengingat Indonesia merupakan salah satu negara terkaya ketiga di dunia atas
sumber daya genetik dan merupakan negara terkaya nomor satu di dunia apabila
kekayaan keanekaragaman hayati laut diperhitungkan. Selain itu, makhluk hidup
di sekeliling kita di Indonesia ini sangat berharga karena jenis tanaman,
hewan, buah-buahan, bahkan virus dan bakteri yang tidak terlihat, mempunyai
nilai komersial yang tinggi. Begitu pula dengan pengetahuan tradisional seperti
jamu-jamuan, ramuan herbal atau cara pengobatan tradisional lainnya.
Tujuan sosialisasi Protokol Nagoya ini adalah selain mensosialisasikan
substansi UU No. 11 Tahun 2013 juga untuk memperkenalkan Protokol Nagoya
terutama di kalangan institusi pemerintah, dunia industri, lembaga swadaya
masyarakat (LSM), dan mahasiswa; memberikan masukan terhadap RUU tentang
Pengelolaan Sumber Daya Genetik; serta memberikan masukan terhadap bagaimana
kontrak yang baik antara pemilik/penyedia dan pengguna sumber daya genetik.
Secara umum pengaturan di dalam Protokol Nagoya mempunyai maksud dan
tujuan antara lain: (1) memberikan akses dan pembagian keuntungan terhadap
pemanfaatan sumber daya genetik dan pengetahuan tradisional terkait sumber daya
genetik, termasuk pemanfaatan atau komersialisasinya serta produk turunannya
(derivative); akses terhadap sumber daya genetik tersebut tetap mengedapankan
kedaulatan negara dan disesuaikan dengan hukum nasional dengan berlandaskan
prinsip prior informed consent (PIC) dengan pemilik atau penyedia sumber daya
genetik; dan (3) mencegah pencurian sumber daya genetik (biopiracy).
Secara resmi Indonesia menjadi Negara Pihak Protokol Nagoya pada 24
September 2013. Manfaat menjadi Negara Pihak Protokol Nagoya antara lain: (1)
menegaskan penguasaan negara atas sumber daya alam dan kedaulatan negara atas
pengaturan akses terhadap Sumber Daya Genetik (SDG) dan pengetahuan tradisional
dari masyarakat hukum adat dan komunitas lokal, sejalan dengan Pasal 33 dan
Pasal 18 UUD RI 1945; (2) mencegah biopiracy dan pemanfaatan tidak sah (illegal
utilization) terhadap keanekaragaman hayati; (3) menjamin pembagian keuntungan
yang adil dan seimbang atas pemanfaatan SDG dan pengetahuan tradisional yang
berkaitan dengan SDG kepada pemilik atau penyedia SDG; dan (4) menciptakan
peluang untuk akses alih teknologi pada kegiatan konservasi dan pemanfaatan
keanekaragaman hayati secara berkelanjutan.
Selama ini, yang dirasa membawa kekayaan untuk Tanah Air terbatas pada
kelapa sawit dan emas. Kekayaan hayati tak membawa dampak besar buat
kesejahteraan di Indonesia. Dampaknya, pemanfaatan sumber daya hayati, salah
satunya tanaman pangan, tak berpayung hukum.
Agar ada payung hukum yang jelas atas ratusan keragaman hayati,
Kementerian Lingkungan Hidup pun mengukuhkan UU Nomor 11 Tahun 2013 tentang
Pengesahan Protokol Nagoya. Protokol Nagoya yang dibuat di Jepang pada Oktober
2010 lalu diratifikasi Indonesia bertepatan dengan Hari Keanekaragaman Hayati
Sedunia 2013.“Undang-Undang ini memberi pemerintah kesempatan mempunyai hak
mutlak untuk mengatur pembagian manfaat dari kekayaan hayati,” terang Balthasar
Kambuaya, Menteri Lingkungan Hidup (22/5).
Maka, inventarisasi sumber daya hayati dan genetik sangat penting agar
Protokol Nagoya bisa memberi manfaat.”Perjuangan pertama adalah inventarisasi.
Ini harus baik dulu,” tegas Balthasar sesaat setelah mengumumkan ratifikasi
Protokol Nagoya.
Menyoal kasus-kasus penjiplakan sumber daya hayati Indonesia oleh negara
lain untuk keuntungan ekonomis, Arief Yuwono, Deputi III Bidang Pengendalian
Kerusakan Lingkungan dan Perubahan Iklim, menyodorkan solusi. “Penyelesaian
kasus-kasus semacam ini dilakukan dengan mediasi,” katanya. Beberapa kasus
penjiplakan tersebut terjadi pada durian montong, minuman anggur (wine)
yang terbuat dari salak bali, dan antivirus flu burung yang mikroorganismenya
berasal dari Indonesia. Tak kalah penting, ratifikasi Protokol Nagoya dapat
mendatangkan keuntungan moneter dan nonmoneter. Keuntungan moneter bisa
berwujud pembayaran royalti dan pendanaan penelitian, sedangkan keuntungan
nonmoneter bisa berwujud kerja sama dalam pendidikan dan pelatihan.
2.
Tantangan
Indonesia Setelah Meratifikasi Protokol Nagoya
Tantangan yang dihadapi Indonesia setelah meratifikasi
Protokol Nagoya adalah:
a.
Penyelesaian pembentukan peraturan perundang-undangan
tentang pengelolaan dan perlindungan SDG, yang saat ini masih dalam tahap
pembahasan. Hal ini dibutuhkan karena ratifikasi harus dilengkapi dengan
peraturan perundang-undangan nasional yang memayungi pengelolaan dan
perlindungan SDG di Indonesia.
b. Pembentukan
otoritas nasional pengelolaan dan perlindungan SDG di Indonesia. Bentuk
kelembagaan ini bersifat multi-sektor karena sifat SDG yang kosmopolit dan
tidak khusus di satu bidang saja, yang mencakup perairan dan kelautan,
pertanian, kehutanan, dan penelitian/ilmu pengetahuan.
c. Pembentukan
standar baku atau Standard Operational Procedure (SOP) pembuatan naskah akses
dan pembagian keuntungan terhadap pembagian keuntungan terhadap pemanfaatan SDG
(MAT), dan pembuatan naskah perjanjian transfer materi biologik (MTA).
Sudaryono. (2015).
Apabila sumber daya genetika tersebut tidak dikawal dengan baik, bisa saja kita
kecurian dan akhirnya justru menjadi pihak yang dirugikan. Misalnya, pihak
asing mengambil beberapa jenis tanaman atau ramuan dan dibawa pulang untuk
diteliti, dibuat obat dan dipatenkan. Setelah itu, mereka menjual kembali ke
Indonesia, dan karena kita membutuhkan kita harus membelinya. Yang lebih parah
lagi, kita yang telah memiliki ramuan tersebut sejak turun temurun, kini
diklaim dan dipatenkan oleh orang lain.
Setelah menjadi
negara Pihak Protokol Nagoya, Pemerintah Indonesia diwajibkan untuk menyusun
dan menerapkan peraturan perundang-undangan nasional mengenai pengelolaan
sumber daya genetik maupun akses pembagian keuntungan. Selain itu, Pemerintah
Indonesia juga diwajibkan untuk membentuk kelembagaan berupa: National Focal
Point, National Competent Authority, check points, Balai Kliring. Menanggapi
mandat Protokol Nagoya tersebut, saat ini Pemerintah sedang menyusun kebijakan
regulasi nasional termasuk percepatan pembentukan Undang-Undang tentang
Perlindungan dan Pengelolaan Sumber Daya Genetik (UU PSDG). Selain itu,
Pemerintah juga sedang dalam proses pembentukan kelembagaan.
Kementerian
Lingkungan Hidup (KLH) ditunjuk sebagai National Focal Point yang berfungsi
sebagai koordinator dan penghubung ke Sekretariat CBD di Montreal. Untuk
National Competent Authority diusulkan dari kementerian terkait yang berfungsi
sebagai pemberi izin akses. Sedangkan untuk check points yang berfungsi sebagai
pengawas sedang diusulkan dari lembaga yang terkait dengan karantina, imigrasi,
dan konservasi. Adapun untuk Balai Kliring yang berfungsi sebagai lembaga
tempat pertukaran informasi dan database, sedang dalam pembahasan antar
kementerian dan lembaga.
Protokol
Nagoya juga mengatur pencegahan pencurian dan pemanfaatan tidak sah terhadap
keanekaragaman hayati (biopiracy), menjamin pembagian keuntungan (finansial
maupun non-finansial) yang adil dan seimbang atas pemanfaatan sumber daya
genetik, serta menciptakan peluang untuk akses alih teknologi pada kegiatan
konservasi dan pemanfaatan keanekaragaman hayati secara berkelanjutan.
MenLH
mengatakan UU No. 11 Tahun 2013 merupakan langkah awal pengaturan bagi
pemanfaatan sumber daya genetik serta pengetahuan tradisional terkait dengan
sumber daya genetik di Indonesia. UU tersebut menjadi penting karena Indonesia
merupakan salah satu negara terkaya ketiga di dunia atas sumber daya genetik
dan merupakan negara terkaya nomor satu di dunia apabila kekayaan
keanekaragaman hayati laut diperhitungkan.
Pemerintah sendiri telah menyusun
instrumen pendukung berupa strategi nasional (stranas) implementasi Protokol
Nagoya, kelembagaan, pedoman tentang Prosedur Akses, Persetujuan atas Dasar
informasi Awal (PADIA), dan Kesepakatan Bersama. Instrumen pendukung yang telah
disusun oleh Pemerintah tersebut akan menjadi materi pengaturan dalam RUU
tentang Pengelolaan Sumber Daya Genetik. RUU tentang Pengelolaan Sumber Daya
Genetik dapat segera diproses dan mendapat dukungan penuh dari DPR RI.
“Kementerian
Lingkungan Hidup juga telah membentuk kelompok kerja untuk menjalankan mandat
Protokol Nagoya. Dengan demikian kami mengharapkan kebijakan ini dapat
diintegrasikan ke dalam pembangunan nasional pasca 2014”, jelas Menteri
Lingkungan Hidup.
Kementerian
Lingkungan Hidup telah menyiapkan beberapa konsep sebagai instrumen. Pendukung
untuk implementasi Protokol Nagoya, seperti Strategi Nasional Implementasi
Protokol Nagoya, Kelembagaan yaitu KLH selaku National Focal Point, Kementerian
Kehutanan, Kementerian Pertanian, dan Kementerian Kelautan dan Perikanan
merupakan National Competent Authorities, LIPI selaku Scientific Authority, Balai
Kliring dan checkpoint).
Pembagian manfaat
sumber daya genetis secara adil dan setara ini menjadi salah satu dari 3 tujuan
Konvensi Keanekaragaman Hayati (CBD). Dua tujuan CBD lainnya adalah konservasi
keanekaragaman biologis dan penggunaannya secara berkelanjutan.
Protokol Nagoya
memberikan kerangka legal guna memastikan akses dan pemanfaatan sumber daya
genetis baik dari tanaman, binatang, bakteri atau organisme lain, yang setara
dan saling menguntungkan, untuk kepentingan penelitian, komersial atau kepentingan
yang lain.
“Protokol Nagoya menjadi unsur penting dalam isu
keanekaragaman hayati bagi terciptanya pembangunan yang berkelanjutan,” ujar
Braulio Ferreira de Souza Dias, Sekretaris Eksekutif CBD dalam
berita Program Lingkungan PBB. Sebanyak 54 negara telah
meratifikasi konvensi ini, lebih cepat dari tenggat pencapaian.
BAB
IV. PENUTUP
A.
Kesimpulan
Dengan
adanya pengesahan Protokol Nagoya apabila ada pihak asing ingin meneliti,
memanfaatkan atau mengembangbiakkan berbagai jenis tanaman, hewan atau
obat-obat tradisional, maka mereka wajib membayar harga kepada pihak Indonesia.
Tantangan yang dihadapi Indonesia setelah meratifikasi
Protokol Nagoya adalah : (1) Penyelesaian pembentukan peraturan
perundang-undangan tentang pengelolaan dan perlindungan SDG, yang saat ini
masih dalam tahap pembahasan. Hal ini dibutuhkan karena ratifikasi harus
dilengkapi dengan peraturan perundang-undangan nasional yang memayungi
pengelolaan dan perlindungan SDG di Indonesia. (2) Pembentukan otoritas
nasional pengelolaan dan perlindungan SDG di Indonesia. Bentuk kelembagaan ini
bersifat multi-sektor karena sifat SDG yang kosmopolit dan tidak khusus di satu
bidang saja, yang mencakup perairan dan kelautan, pertanian, kehutanan, dan
penelitian/ilmu pengetahuan. Dan (3) Pembentukan standar baku atau Standard
Operational Procedure (SOP) pembuatan naskah akses dan pembagian keuntungan
terhadap pembagian keuntungan terhadap pemanfaatan SDG (MAT), dan pembuatan
naskah perjanjian transfer materi biologik (MTA).
B.
Saran
Adapun
saran dari penulis adalah sebaiknya pemerintah tetap menaruh focus untuk
menjaga kekayaan sumber daya alam yang dimilikinya sehingga kekayaan bangsa
kita dapat dinikmati oleh bangsa kita dan tidak diakui oleh bangsa lain.
DAFTAR PUSTAKA
Angga
Wijaya, Peluang dan Tantangan Indonesia
Pacsa Ratifikasi Protokol Nagoya. Pusat Penelitian Bioteknologi LIPI. 2016.
Jatna
Supriatna, Manfaat Perjanjian Protokol
Nagoya Bagi Indonesia. Pengajar Biologi Konservasi Universitas Indonesia
dan anggota akademi ilmu pengetahuan Indonesia. NasionalGeographic Indonesia.
Oktober, 2015.
Jurnal PDF:
Tesis, atas nama Mila Hanifa, Universitas Indonesia, dengan judul Perlindungan Hukum Terhadap Akses Dan
Pembagian Keuntungan Atas Pemanfaatan Sumber Daya Genetik.
Jurnal PDF:
RUU Republik Indonesia, Tentang
Pengesahan Nagoya Protocol On Access To Genetic Resources And The Fair And
Equitable Sharing Of Benefits Arising From Their Utilization To The Convention
On Biological Diversity.
Jurnal PDF: Undang-Undang
Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2013, Tentang
Pengesahan Nagoya Protocol On Access To Genetic Resources And The Fair And
Equitable Sharing Of Benefits Arising From Their Utilization To The Convention
On Biological Diversity.
Sudariyono,
Pengesahan dan Sosialisasi Protokol
Nagoya. Deputi V KLH Bidang Penaatan Hukum Lingkungan. 2015.
DAFTAR LAMPIRAN
1. Nagoya protocol on access to genetic resources
and the fair and equitable sharing of benefits arising From their utilization
To the Convention on Biological diversity.
2. Undang-Undang
No. 11 Tahun 2013 Tentang
Pengesahan Nagoya Protocol On Access To
Genetic Resources And The Fair And Equitable Sharing Of Benefits Arising From
Their Utilization To The Convention On Biological Diversity (Protokol
Nagoya Tentang Akses Pada Sumber Daya Genetik Dan Pembagian Keuntungan Yang
Adil Dan Seimbang Yang Timbul Dari Pemanfaatannya Atas Konvensi Keanekaragaman
Hayati)