Jumat, 07 April 2017

Prospek dan Tantangan Protokol Nagoya


Prospek dan Tantangan Protokol Nagoya atas Pemanfaatan Sumber Daya Genetik Mikroorganisme di Indonesia
 

Mengukir Masa Depan Bersama melalui Mikroorganisme

Sejak 2011, suatu proyek kerjasama penelitian di dalam skema SATREPS (Science and Technology Research Partnership for Sustainable Development) dilaksanakan, antara lain, oleh RCB-LIPI dalam rangka "Pengembangan Pusat Berkelas Dunia Sumber Daya Mikroba untuk Mempromosikan Penelitian Ilmu Alam dan Bioteknologi" yang direncanakan untuk pelaksanaan lima (5) tahun. Melalui proyek ini, para tenaga ahli Jepang dari NITE (National Institute of Technology and Evaluation), Universitas Tokyo, serta RIKEN (suatu organisasi penelitian terkemuka Jepang), berbagi pengetahuan dan teknologi mereka dalam mengelola sumber daya hayati dan meneliti mikroorganisme.
Dalam melakukan penelitian, para peneliti proyek tersebut mengumpulkan mikroorganisme yang memiliki potensi berguna bagi pertanian dan produksi ternak, kemudian diidentifikasi karakteristik mereka, dan dibuat database untuk memberikan kontribusi terhadap pelestarian dan pemanfaatan sumber daya mikroba yang berkelanjutan. Misalnya, melalui proyek ini telah ditemukan mikroorganisme yang membantu pembuatan pupuk untuk mengembangkan pertumbuhan tanaman, jamur atau fungi yang membantu pertumbuhan pohon di area penebangan hutan dan lahan kritis, dan bakteri asam laktat yang membantu menjaga kesehatan ternak, sehingga diharapkan dapat dikomersialisasikan sebagai bioteknologi ramah lingkungan. Penelitian dan pengembangan tersebut juga dapat merintis promosi penggunaan energi baru sebagai alternatif pengganti bahan bakar fosil, serta memberikan kesempatan untuk membuka peluang bisnis baru yang berhubungan dengan makanan sehat, kosmetik, bidang farmasi, pertanian, dan peternakan.
Dalam hal pengelolaan koleksi mikroba, selain untuk mendukung sistem penyimpanan dan manajemen yang tepat, proyek ini juga mengembangkan sebuah sistem dimana perusahaan swasta dan lembaga penelitian dapat memesan dan membeli mikroorganisme yang dibutuhkan untuk pengembangan dan penelitian produk dengan harga yang wajar.
Berbagai kegiatan tersebut akhirnya berdampak pada munculnya inisiatif dan meningkatnya kemampuan Indonesia untuk mendirikan pusat penyimpanan mikroorganisme terbesar di Asia Tenggara.
Dr. SUZUKI Kenichiro selaku pimpinan proyek sekaligus ketua tim peneliti tenaga ahli Jepang, menyatakan "Di antara berbagai mikroorganisme, ada beberapa yang berpotensi tinggi memiliki kapasitas yang tidak dimiliki oleh hewan dan tumbuhan. Oleh karena Indonesia diketahui memiliki keanekaragaman hayati hutan hujan tropis terbesar dunia kedua, seyogyanya memiliki peluang yang tak terhitung untuk menemukan mikroorganisme yang belum ditemukan, sehingga pengumpulan sampel juga dilakukan di wilayah mata air panas maupun laut dalam. Sekarang ini sebuah "wahana" dalam bentuk InaCC telah didirikan, namun hal penting yang sangat kritis adalah bagaimana memperkuat/mengembangkan koleksinya di masa depan. Di satu sisi, mengumpulkan berbagai karakteristik mikroorganisme Indonesia memang diperlukan, namun yang juga harus diperhatikan bahwa pemanfaatan mikroorganisme tersebut membutuhkan bioteknologi tingkat tinggi, dengan demikian pokok perhatian selanjutnya adalah bagaimana upaya kita untuk meningkatkan kualitas teknologi tersebut.

Memanfaatkan Aset Berharga di Indonesia

Pada 1993, Konvensi Keanekaragaman Hayati mulai diberlakukan, untuk itu negara sekarang memiliki hak berdaulat atas sumber daya hayati mereka sendiri. Protokol Nagoya yang mengatur pembagian akses dan manfaat dari sumber daya hayati mulai diberlakukan pada Oktober 2014 ini. Dengan demikian, pendirian InaCC ini bertepatan dengan adanya gerakan global terkait sumber daya hayati. Untuk itu, diharapkan Pusat ini dapat memberikan kesempatan bagi penelitian dan pengembangan baru, baik untuk lembaga penelitian dalam negeri maupun luar negeri Indonesia.
JICA berusaha untuk melanjutkan kerja sama melalui proyek SATREPS yang sedang berlangsung untuk memberikan kontribusinya terhadap pemanfaatan berbagai sumber daya hayati sebagai aset berharga Indonesia, sehingga dalam waktu dekat secara tidak langsung dapat memberikan solusi bagi berbagai masalah yang dihadapi secara global.
Notes
  1. SATREPS adalah program pemerintah Jepang yang mempromosikan penelitian Internasional bersama. Program ini disusun sebagai kolaborasi antara JST (Japan Science and Technology Agency), yang menyediakan dana penelitian kompetitif untuk berbagai proyek ilmu pengetahuan dan teknologi (masing-masing 3-5 tahun), dan JICA, yang memberikan bantuan pembangunan (ODA).
  2. Protokol Nagoya mengenai akses terhadap sumber daya genetik (SDG) serta pembagian keuntungan yang adil dan seimbang dari pemanfaatan SDG dalam rangka Konvensi Keanekaragaman Hayati merupakan suatu perjanjian Internasional yang diadopsi oleh Konferensi Para Pihak kesepuluh pada Konvensi Keanekaragaman Hayati (COP-10) pada 29 Oktober 2010 di Nagoya, Jepang.
Indonesia merupakan negara yang memiliki kekayaan sumber daya genetik (SDG) yang amat besar. Disebabkan kekayaan SGD tersebut, Indonesia dijuluki ‘megadiversity’. Kekayaan SDG ini membutuhkan pengelolaan dan perlindungan yang baik. Hal ini diperlukan karena negara-negara yang kaya akan SDG rentan akan pembajakan hayati (biopiracy) oleh negara-negara maju yang kaya akan teknologi untuk biprospeksi. Korporasi-korporasi dari negara-negara maju kerap kali melakukan praktik pengambilan SDG tanpa izin tersebut. Beberapa kasus di dunia menunjukkan bukti-bukti nyata hal tersebut. Indonesia pun pernah mengalami praktik serupa. Kasus permohonan paten oleh salah satu perusahaan kosmetik asal Jepang atas ganggang hijau milik Indonesia adalah contohnya. Sehingga dibutuhkan mekanisme pengelolaan dan perlindungan SDG agar terhindar dari permasalahan serupa di kemudian hari.
Perkembangan termuktahir di dunia menunjukkan sinyal positif bagi mekanisme dan perlindungan SDG. Sinyal positif tersebut adalah hadirnya aturan hukum berbentuk perjanjian internasional yang mengatur tata kelola SDG. Perjanjian Internasional tersebut adalah Protokol Nagoya. Indonesia telah meratifikasi Protokol Nagoya dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2013 Tentang Pengesahan Protokol Nagoya tentang Akses Pada Sumber Daya Genetik dan Pembagian Keuntungan Yang Adil dan Seimbang yang Timbul dari Pemanfaatannya atas Konvensi Keanekaragaman Hayati.
Secara umum pengaturan di dalam Protokol Nagoya mempunyai maksud dan tujuan antara lain:
  1. Memberikan akses dan pembagian keuntungan terhadap pemanfaatan SDG dan pengetahuan tradisional terkait SDG, termasuk pemanfaatan atau komersialisasinya serta produk turunannya (derivative);
  2. akses terhadap SDG tersebut tetap mengedepankan kedaulatan negara dan disesuaikan dengan hukum nasional dengan berlandaskan prinsip prior informed consent (PIC) dengan pemilik atau penyedia SDG; dan
  3. mencegah pencurian SDG (biopiracy).
Pengesahan Protokol Nagoya merupakan tahap awal menuju keanggotaan Indonesia sebagai negara Pihak pada Protokol Nagoya. Manfaat yang dapat diperoleh dari keanggotaan ini antara lain adalah sebagai berikut:
  1. Menegaskan penguasaan negara atas sumber daya alam dan kedaulatan negara atas pengaturan akses terhadap SDG dan pengetahuan tradisional dari masyarakat hukum adat dan komunitas lokal, sejalan dengan Pasal 33 dan Pasal 18 UUD RI 1945;
  2. Mencegah biopiracy dan pemanfaatan tidak sah (illegal utilization) terhadap keanekaragaman hayati;
  3. Menjamin pembagian keuntungan (finansial maupun non-finansial) yang adil dan seimbang atas pemanfaatan SDG dan pengetahuan tradisional yang berkaitan dengan SDG kepada pemilik atau penyedia SDG; dan
  4. Menciptakan peluang untuk akses alih teknologi pada kegiatan konservasi dan pemanfaatan keanekaragaman hayati secara berkelanjutan.
Hal-hal itu adalah peluang Indonesia. Selain peluang terdapat pula tantangan bagi Indonesia. Paling tidak terdapat 3 tantangan Indonesia. Pertama, penyelesaian pembentukan peraturan perundang-undangan (per-uu) tentang pengelolaan dan perlindungan SDG, yang saat ini masih dalam tahap pembahasan. Hal ini dibutuhkan karena ratifikasi harus dilengkapi dengan per-uu nasional yang memayungi tata kelola pengelolaan dan perlindungan SDG di Indonesia secara holistik. Kedua, pembentukan otoritas nasional pengelolaan dan perlindungan SDG di Indonesia. Bentuk kelembagaan ini bersifat multi-sektor karena sifat SDG yang kosmopolit dan tidak khusus di satu bidang saja, yang mencakup perairan dan kelautan, pertanian, kehutanan, dan penelitian/ilmu pengetahuan. Keanggotaan lembaga ini terdiri dari beberapa stakeholder dari instansi-instansi terkait tersebut. Ketiga, pembentukan standar baku atau Standard Operational Procedure (SOP) pembuatan naskah akses dan pembagian manfaat SDG (MAT), dan pembuatan naskah perjanjian transfer materi biologik (MTA).
Ketiga langkah-langkah untuk menghadapi tantangan tersebut harus bersifat sinergis. Sinergi ini dibutuhkan agar tercipta tata kelola pengelolaan dan perlindungan SDG di Indonesia yang holistik. Langkah selanjutnya adalah good will dan kerja keras dari negara dan masyarakat untuk mewujudkan pengelolaan dan perlindungan SDG di Indonesia. Tanpa hubungan sinergis antara negara dan masyarakat, akan amat sukar untuk mewujudkan tata kelola pengelolaan dan perlindungan SDG yang holistik di Indonesia.

Prospek dan Tantangan Protokol Nagoya atas Pemanfaatan Sumber Daya Genetik Mikroorganisme di Indonesia


BAB I . PENDAHULUAN
A.      Latar Belakang.
Tanggal 12 Oktober 2014, Protokol Nagoya mulai berlaku. Protokol dapat berlaku dan berkekuatan penuh karena sudah ditandatangani lebih dari 50 negara dan telah 90 hari diterima Sekretaris Jenderal PBB.  Indonesia telah meratifikasi Protokol Nagoya pada 8 Mei 2013 dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2013, hanya dua tahun setelah protokol tersebut ditandatangani. Dengan demikian, Indonesia menjadi negara ke-26 yang meratifikasi. Protokol Nagoya mengatur akses pada sumber daya genetika dan pembagian keuntungan yang adil dari pemanfaatannya atas Konvensi Keragaman Hayati.
Implikasi dari diterimanya protokol ini cukup banyak bagi Indonesia yang selain menjadi penanda tangan protokol juga mempunyai keragaman hayati sangat tinggi di dunia. Akan ada pengaturan pemanfaatan dan perdagangan keragaman hayati secara global, termasuk pembagian keuntungan, persetujuan transfer yang menguntungkan, dan pemberitahuan kepada pemangku kepentingan, alih teknologi, dan lain-lain.
Sebagai negara yang keragaman hayatinya setara dengan Brasil di Benua Amerika dan Zaire atau Republik Demokratik Kongo di Afrika, sepantasnya kita bersiap diri menyongsong pemberlakuan protokol ini dengan penguatan bidang sains dan teknologi mengenai biodiversitas. Sumber daya genetika Indonesia sangat tinggi karena kita mempunyai 10 persen tumbuhan berbunga di dunia, selain mempunyai 15 persen jumlah serangga, 25 persen spesies ikan, 16 persen jumlah amfibi dan reptil, 17 persen burung, dan sekitar 12 persen mamalia di dunia.
Kalau tidak menguatkan kompetensi di bidang itu, kita akan menerima banyak sekali pakar biologi dan ilmu sejenisnya dari luar negeri yang memanfaatkan peluang di Indonesia. Apalagi pada 2015 kita akan memasuki komunitas ASEAN dan penerapan Sustainable Development Goal.
Pengaturan dalam Protokol Nagoya bertujuan memberi akses dan pembagian keuntungan terhadap pemanfaatan sumber daya genetika dan pengetahuan tradisional, termasuk pemanfaatan produk turunannya (derivatif). Tujuan lain, mencegah pencurian sumber daya genetika atau biopiracy. Akses terhadap sumber daya tetap mengedepankan kedaulatan negara dan disesuaikan dengan hukum nasional.

B.     Tujuan
Adapun tujuan dari penulisan malakah ini adalah untuk mengetahui prospek dan tantangan protokol Nagoya atas pemanfaatan sumber daya genetik mikroorganisme di Indonesia.


BAB II . TINJAUAN PUSTAKA
1.    Protokol Nagoya
Protokol Nagoya terdiri atas 36 (tiga puluh enam) pasal dan 1 (satu) lampiran. Materi pokok Protokol Nagoya mengatur hal-hal sebagai berikut:
a.       ruang lingkup Protokol Nagoya adalah pembagian keuntungan yang adil dan seimbang dari setiap pemanfaatan terhadap sumber daya genetik dan pengetahuan tradisional yang berkaitan dengan sumber daya genetik;
b.      pembagian keuntungan, finansial dan/atau non finansial, yang adil dan seimbang dari setiap pemanfaatan sumber daya genetik dan pengetahuan tradisional diberikan berdasarkan kesepakatan bersama (Mutually Agreed Terms);
c.       akses pada sumber daya genetik dan pengetahuan tradisional yang berkaitan dengan sumber daya genetik yang dilakukan melalui persetujuan atas dasar informasi awal (Prior Informed Consent/PIC) dari penyedia sumber daya genetik;
d.      penyederhanaan prosedur akses pada sumber daya genetik untuk penelitian nonkomersial dan pertimbangan khusus akses pada sumber daya genetik dalam situasi darurat kesehatan, lingkungan, dan pangan;
e.       mekanisme pembagian keuntungan multilateral global (global multilateral benefit sharing) terhadap pemanfaatan sumber daya genetik dan pengetahuan tradisional yang bersifat lintas negara;
f.       mekanisme kelembagaan diatur dengan:
1.      penunjukkan satu atau beberapa National Competent Authority (NCA) sebagai institusi yang berwenang memberikan izin akses, penentuan kebijakan prosedur akses, dan persyaratan dalam persetujuan atas dasar informasi awal serta kesepakatan bersama; dan
2.         penunjukkan Pumpunan Kegiatan Nasional (National Focal Point) yang berfungsi sebagai penghubung Para Pihak dengan Sekretariat Konvensi Keanekaragaman Hayati. Pumpunan Kegiatan Nasional dapat juga berfungsi sebagai NCA;
g.        pembentukan Balai Kliring Akses dan pembagian keuntungan yang merupakan sistem basis data yang berfungsi sebagai sarana pertukaran informasi terhadap akses sumber daya genetik dan pembagian keuntungan atas pemanfaatan sumber daya genetik;
h.        penaatan terhadap peraturan perundang-undangan nasional mengenai akses dan pembagian keuntungan terhadap pemanfaatan sumber daya genetik dan pengetahuan tradisional terkait dengan sumber daya genetik;
i.           pemantauan dilakukan melalui penunjukkan pos pemeriksaan (checkpoints) pada semua level, yaitu penelitian, pengembangan, inovasi, prekomersialisasi, atau komersialisasi serta adanya sistem sertifikasi yang diakui secara internasional;
j.           penaatan terhadap kesepakatan bersama
penyedia (provider) dan pemanfaat (user) sumber daya genetik harus menaati kesepakatan dalam kontrak atas pemanfaatan sumber daya genetik khususnya klausul penyelesaian sengketa, akses terhadap keadilan (access to justice), pilihan hukum dan pilihan forum penyelesaian sengketa;
k.         model klausul kontrak kesepakatan bersama
Negara Pihak mendorong pengembangan, pemutakhiran, dan penggunaan model klausul kontrak dalam kesepakatan bersama;
l.           kode etik, pedoman dan praktik terbaik, dan/atau standar
Negara Pihak mendorong pengembangan, pemutakhiran, dan penggunaan kode etik sukarela, pedoman dan praktik-praktik terbaik dalam kaitannya dengan akses dan pembagian keuntungan terhadap pemanfaatan sumber daya genetik;
m.       peningkatan kesadaran
Negara Pihak melakukan upaya untuk meningkatkan kesadaran akan pentingnya sumber daya genetik dan pengetahuan tradisional yang berkaitan dengan sumber daya genetik, dan isu-isu terkait dengan akses dan pembagian keuntungan;


n.         peningkatan kapasitas
Negara Pihak bekerja sama dalam pengembangan kapasitas sumber daya manusia dan kelembagaan, antara lain pengembangan:
1.         kapasitas untuk mengimplementasikan dan untuk mematuhi kewajiban-kewajiban dalam Protokol Nagoya;
2.         kapasitas untuk menegosiasikan kesepakatan bersama;
3.         kapasitas untuk mengembangkan, mengimplementasikan dan menegakkan langkah-langkah legislatif, administratif atau kebijakan nasional tentang akses dan pembagian keuntungan; dan
4.         kapasitas untuk mengembangkan kemampuan penelitian endogen untuk menambahkan nilai pada sumber daya genetik.
o.        transfer teknologi, kolaborasi, dan kerja samaNegara Pihak meningkatkan dan mendorong akses terhadap teknologi dan transfer teknologi untuk pengembangan dan penguatan teknologi. Negara pemanfaat sumber daya genetik harus mengembangkan kegiatan kerja sama dengan negara asal sumber daya genetik;
p.        prosedur dan mekanisme untuk mempromosikan penaatan Protokol Nagoya Konferensi Para Pihak mempertimbangkan dan menyetujui prosedur kerja sama dan mekanisme kelembagaan untuk meningkatkan penaatan dan penanganan kasus ketidaktaatan terhadap substansi Protokol Nagoya.
Pengesahan Protokol Nagoya merupakan tahap awal menuju keanggotaan Indonesia sebagai negara Pihak pada Protokol Nagoya. Manfaat yang dapat diperoleh dari keanggotaan ini antara lain adalah sebagai berikut:
  1. Menegaskan penguasaan negara atas sumber daya alam dan kedaulatan negara atas pengaturan akses terhadap SDG dan pengetahuan tradisional dari masyarakat hukum adat dan komunitas lokal, sejalan dengan Pasal 33 dan Pasal 18 UUD RI 1945;
  2. Mencegah biopiracy dan pemanfaatan tidak sah (illegal utilization) terhadap keanekaragaman hayati;
  3. Menjamin pembagian keuntungan (finansial maupun non-finansial) yang adil dan seimbang atas pemanfaatan SDG dan pengetahuan tradisional yang berkaitan dengan SDG kepada pemilik atau penyedia SDG; dan
Menciptakan peluang untuk akses alih teknologi pada kegiatan konservasi dan pemanfaatan keanekaragaman hayati secara berkelanjutan.

2.    Manfaat Protokol Nagoya
Adapun manfaat yang diperoleh Indonesia melalui pengesahan Protokol Nagoya, antara lain:
1.        Melindungi dan melestarikan sumber daya genetik dan pengetahuan tradisional yang berkaitan dengan sumber daya genetik.
2.        Mencegah pencurian (biopiracy) dan pemanfaatan tidak sah (illegal utilization) terhadap keanekaragaman hayati.
3.        Menjamin pembagian keuntungan (finansial maupun non finansial) yang adil dan seimbang atas pemanfaatan sumber daya genetik dan pengetahuan tradisional yang berkaitan dengan sumber daya genetik kepada penyedia sumber daya genetik berdasarkan kesepakatan bersama (Mutually Agreed Terms).
4.        Meletakkan dasar hukum untuk mengatur akses dan pembagian keuntungan yang adil dan seimbang atas pemanfaatan sumber daya genetik dan pengetahuan tradisional terkait sumber daya genetik berdasarkan kesepakatan bersama.
5.        Menguatkan penguasaan negara atas sumber daya alam sebagaimana diamanatkan Pasal 33 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan mengakui keberadaan masyarakat hukum adat dan hak-hak tradisional sesuai dengan Pasal 18 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
6.        Menegaskan kedaulatan Negara atas pengaturan akses terhadap sumber daya genetik dan pengetahuan tradisional yang berkaitan dengan sumber daya genetik.
7.        Memberikan insentif dan dukungan pendanaan sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.
8.        Menciptakan peluang untuk akses alih teknologi pada kegiatan konservasi dan pemanfaatan keanekaragaman hayati secara berkelanjutan.

3.    Rentannya Pembajakan Pengelolaan Sumber Daya Hayati
Kekayaan sumber daya hayati memang perlu dikelola sekaligus dilindungi karena rentan pembajakan hayati, terutama oleh negara-negara maju. Perusahaan dari negara maju kerap mengambil sumber daya genetika tanpa izin. Indonesia pun pernah mengalami praktik serupa. Banyak sekali sumber daya genetika, seperti obat, bahan industri, dan pangan, dipatenkan perusahaan dan pakar luar negeri.
Sumber daya genetika itu menjadi tujuan peneliti luar negeri karena materi genetika kita sangat tinggi. Data menunjukkan, 9 dari 10 obat-obatan yang diproduksi berasal dari materi genetika (Dobson 1995).
Ini sejalan dengan hasil penelitian lain, yaitu dari 150 obat-obatan yang diresepkan dokter di Amerika Serikat, 118 jenis berbasis sumber alam, yaitu 74 persen dari tumbuhan, 18 persen jamur, 5 persen bakteri, dan 3 persen vertebrata seperti ular. Nilai obat-obatan dari bahan alam mencapai 40 miliar dollar AS per tahun.
Keahlian memanfaatkan tumbuhan sebagai bahan baku obat penting dalam pengembangan obat. Industri obat-obatan yang menggunakan bahan tradisional (jamu) termasuk industri tangguh dan permintaan akan bahan tradisional di negara maju semakin meningkat. Maka dari itu, Indonesia sangat mengharapkan keuntungan dari pemanfaatan sumber daya alam genetika ini.
Hal itu dapat dicapai melalui kerja sama yang melibatkan masyarakat setempat, swasta, dan lembaga internasional dalam penelitian sehingga keuntungan dapat terbagi merata dan dinikmati bersama.
Seiring dengan gencarnya usaha industri farmasi dalam mencari sumber baru bahan baku kimia tumbuhan untuk mengembangkan obat, industri memusatkan perhatian pada negara dengan keragaman hayati tinggi seperti Indonesia. Berarti Indonesia dapat turut berpartisipasi dalam pertukaran barang, informasi, dan teknologi ke pasar dunia.
Negara industri maju perlu memenuhi kebutuhan sumber daya alam untuk kepentingan ekonomi, tetapi sebagian besar sumber daya hayati ada di negara berkembang. Sangat jelas bahwa kerja sama antarnegara sangat dibutuhkan untuk mengatasinya. Indonesia dapat menjalin kerja sama dengan industri farmasi internasional melalui dua cara.
Pertama, mengurangi peran bioprospeksi menjadi sekadar alat pencari uang. Namun, ekspor dan eksploitasi sumber daya alam skala besar dapat menyebabkan menurunnya persediaan bahan baku alam tanpa menghasilkan keuntungan dan teknologi apa pun. Dengan dukungan dari Konvensi Keragaman Hayati, pilihan kedua adalah mengelola secara komersial sumber daya alam yang dapat menghasilkan keuntungan buat masyarakat dan penduduk lokal.
Selain peluang, terdapat pula tantangan bagi Indonesia. Paling tidak terdapat dua tantangan Indonesia. Pertama, pembentukan otoritas nasional pengelolaan dan perlindungan sumber daya di Indonesia. Bentuk kelembagaan ini bersifat multisektor karena sifat sumber daya genetika di berbagai habitat yang mencakup perairan dan kelautan, pertanian, kehutanan, serta penelitian/ilmu pengetahuan. Keanggotaan lembaga terdiri dari pemangku kepentingan dan instansi terkait. Kedua, pembentukan standar baku atau prosedur operasi standar (SOP) naskah akses dan pembagian manfaat sumber daya genetika serta perjanjian transfer materi biologik (material transfer agreement).

4.      Perlunya Sinergitas dalam Pengelolaan
Sinergi institusi pengelola perlu agar tercipta tata kelola dan perlindungan sumber daya genetika di Indonesia yang holistik. Langkah selanjutnya adalah kerja keras dari negara dan masyarakat untuk mewujudkannya. Tanpa sinergi antara negara dan masyarakat, amat sukar untuk mewujudkan tata kelola dan perlindungan sumber daya genetika yang holistik di Indonesia.
Pembangunan industri yang memiliki nilai tambah sangat penting untuk membangun kapasitas di bidang teknologi. Meliputi pelayanan yang berhubungan dengan identifikasi sampel, ekstraksi kimia, dan investigasi sampel.
Penambahan nilai pada sumber daya biologi tidak saja meningkatkan kapasitas teknologi, tetapi juga meningkatkan kompensasi perekonomian.
Misalnya, di industri farmasi keuntungannya 1-6 persen untuk sampel yang belum diidentifikasi, 5-10 persen untuk sampel yang telah diidentifikasi, dan 10-15 persen untuk sampel yang memiliki informasi ilmiah. Penguatan kapasitas ilmiah dan teknologi di Indonesia dapat mendukung formulasi kerja sama dengan industri di negara maju dan juga menempatkan Indonesia untuk mengendalikan sendiri sumber daya alamnya.
Apakah perjanjian ini akan bermanfaat bagi Indonesia? Tentu saja ya. Keanggotaan ocal akan menegaskan penguasaan ocal atas sumber daya genetika serta kedaulatan ocal atas pengaturan akses dan pengetahuan tradisional dari masyarakat ocal adat dan komunitas ocal, sejalan dengan Pasal 33 dan Pasal 18 UUD 1945. Selain itu, juga mencegah biopiracy dan pemanfaatan tidak sah (illegal utilization) terhadap keragaman hayati.

5.      Konsep Akses dan Pembagian Keuntungan.
Akses dan pembagian keuntungan (acces and benefit sharing) merupakan cara yang digunakan untuk mendapatkan akses ke sumber daya genetik dan bagaimana pembagian keuntungan yang diperoleh baik Negara penyedia termasuk didalamnya masyarakat adat pemilih sumber daya genetik dengan pengguna sumber daya genetik yang antara lain adalah industry. Ketentuan mengenai akses dan pembagian keuntungan dirancang untuk menjamin bahwa akses kepada sumber daya genetikdapat difasilitasi dan keuntungannya yang didapat dari pemanfaatannyadibagi secara adil dan seimbang dengan pihak penyedia.
Akses dan pembagian keuntungan atas pemanfaatan sumber daya genetik menjadi salah satu tujuan konversi Keanekaragaman Hayati (Convetion in Biological Diversity). Pemerintahan dari Negara-negara yang telah meratifikasi mempunyai dua tanggung jawab kunci. Yaitu:
1.        Menyediakan system yang menfasilitasi akses terhadap sumber daya genetik untuk tujuan berorientasi terhadap lingkungan.
2.        Menfasilitasi bahwa keuntungan yang dihasilkan dari pemanfaatan dibagi secara adil dan seimbang antara pengguna dan penyedia.
6. Konsep Pembagian Keuntungan.
a)      Pembagian keuntungan berdasarkan naskah akademik. Rancangan Undang-Undang tentang perlindungan Sumber Daya Genetik, sebagai berikut:
1.      Perlindungan untuk sumber daya genetik;
2.      Pembagian mengenai informasi dan pengetahuan;
3.      Kompensasi untuk pemanfaatan langsung;
4.      Akses kepada teknologi;
5.      Upaya pengembangan langsung;
b)      pembagian keuntungan Sumber Daya Genetik harus mempertimbangkan dan memperhatikan hal-hal sebagai berikut:
1.      kepemilikan sumber daya genetik, akan menentukan kepada siapa hasil pemanfaatan sumber daya genetik tersebut harus dibagikan. Kepemilikan secara garis besar dapat dibagi menjadi bagian, yaitu: pemerintah, masyarakat, dan individu.
2.      Jenis keuntungan atau manfaat yang akan dibagikan, keuntungan atau manfaat langsung berupa uang, keuntungan atau manfaat tidak langsung yang tidak berupa uang yaitu berupa teknologi dan pengetahuan.
3.      Pemberlakuan hak kekayaan intelektual sebagai mekanisme keuntungan.
4.      Kerangka waktu pembagian keuntungan/manfaat.
5.      Penguatan kelembagaan (dengan mengikut sertakan lembaga berwenang di tingkat nasional dalam tata cara akses agar kelak dapat memonitor akses tersebut).
6.      Pemberlakuan system royalty, sekalipun akses telah berhenti, apabila masih ada hak kekayaan intelektual yang terkait di dalamnya, maka pembagian royalty akan terus berjalan.

c)      Pembagian keuntungan atas pemanfaatan sumber daya hayati ada dua bentuk yaitu:
1.      Keuntungan moneter antara lain uang royalty dan,
2.      Keuntungan nonmoneter atara lain capacity building, pelatihan, pendidikan dan teknologi.

Dalam praktek diberbagai Negara di Dunia, pembagian keuntungan dilakukan melalui perjanjian antara para pihak. Negara yang menerapkan perjanjian dalam pembagian keuntungan antara lain, Kani People India, Thee Tropical Botanic Garden and Research Institute (TBGR) in kerala.tentang pengembangan obat-obatan jeevani dari suku Kani. Di Indonesia pun, mekanisme akses dan pembagian keuntungan seringkali ditentukan dengan perjanjian kerjasama antara lain kerjasama penelitian baik antar lembaga penelitian, Universitas, maupun swasta dalam negri dengan pihak di luar negri.


BAB. III HASIL DAN PEMBAHASAN

1.      Prospek Protokol Nagoya
Kementerian Lingkungan Hidup (KLH) menyelenggarakan Sosialisasi Undang-Undang (UU) Nomor 11 Tahun 2013 tentang Pengesahan Protokol Nagoya. Hanya dalam kurun waktu 2 tahun sejak penandatanganan Protokol Nagoya pada 11 Mei 2011, Pemerintah Indonesia pada 8 Mei 2013 telah menetapkan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2013 tentang Pengesahan Protokol Nagoya tentang Akses pada Sumber Daya Genetik dan Pembagian Keuntungan yang Adil dan Seimbang yang timbul dari Pemanfaatannya atas Konvensi Keanekaragaman Hayati. Indonesia meratifikasi Protokol Nagoya mengikuti 15 negara lain yang telah meratifikasi dan menjadi Negara Pihak dari Protokol ini. Sampai saat ini, dari 92 negara yang telah menandatangani Protokol Nagoya, tercatat 26 negara termasuk Indonesia telah meratifikasinya. Namun demikian, Protokol Nagoya belum dapat diberlakukan karena sesuai dengan Pasal 33, Protokol Nagoya akan berlaku pada hari ke-90 setelah diterimanya instrument of ratification, acceptance atau approval ke-50 oleh Sekretaris Jenderal PBB sehingga masih memerlukan 24 ratifikasi lagi agar Protokol Nagoya dapat diberlakukan.
Dalam sambutannya, Deputi V KLH Bidang Penaatan Hukum Lingkungan, Drs. Sudariyono, mengatakan, “Dengan adanya pengesahan Protokol Nagoya apabila ada pihak asing ingin meneliti, memanfaatkan atau mengembangbiakkan berbagai jenis tanaman, hewan atau obat-obat tradisional, maka mereka wajib membayar harga kepada pihak Indonesia”. Protokol Nagoya sangat menguntungkan Indonesia mengingat Indonesia merupakan salah satu negara terkaya ketiga di dunia atas sumber daya genetik dan merupakan negara terkaya nomor satu di dunia apabila kekayaan keanekaragaman hayati laut diperhitungkan. Selain itu, makhluk hidup di sekeliling kita di Indonesia ini sangat berharga karena jenis tanaman, hewan, buah-buahan, bahkan virus dan bakteri yang tidak terlihat, mempunyai nilai komersial yang tinggi. Begitu pula dengan pengetahuan tradisional seperti jamu-jamuan, ramuan herbal atau cara pengobatan tradisional lainnya.
Tujuan sosialisasi Protokol Nagoya ini adalah selain mensosialisasikan substansi UU No. 11 Tahun 2013 juga untuk memperkenalkan Protokol Nagoya terutama di kalangan institusi pemerintah, dunia industri, lembaga swadaya masyarakat (LSM), dan mahasiswa; memberikan masukan terhadap RUU tentang Pengelolaan Sumber Daya Genetik; serta memberikan masukan terhadap bagaimana kontrak yang baik antara pemilik/penyedia dan pengguna sumber daya genetik.
Secara umum pengaturan di dalam Protokol Nagoya mempunyai maksud dan tujuan antara lain: (1) memberikan akses dan pembagian keuntungan terhadap pemanfaatan sumber daya genetik dan pengetahuan tradisional terkait sumber daya genetik, termasuk pemanfaatan atau komersialisasinya serta produk turunannya (derivative); akses terhadap sumber daya genetik tersebut tetap mengedapankan kedaulatan negara dan disesuaikan dengan hukum nasional dengan berlandaskan prinsip prior informed consent (PIC) dengan pemilik atau penyedia sumber daya genetik; dan (3) mencegah pencurian sumber daya genetik (biopiracy).
Secara resmi Indonesia menjadi Negara Pihak Protokol Nagoya pada 24 September 2013. Manfaat menjadi Negara Pihak Protokol Nagoya antara lain: (1) menegaskan penguasaan negara atas sumber daya alam dan kedaulatan negara atas pengaturan akses terhadap Sumber Daya Genetik (SDG) dan pengetahuan tradisional dari masyarakat hukum adat dan komunitas lokal, sejalan dengan Pasal 33 dan Pasal 18 UUD RI 1945; (2) mencegah biopiracy dan pemanfaatan tidak sah (illegal utilization) terhadap keanekaragaman hayati; (3) menjamin pembagian keuntungan yang adil dan seimbang atas pemanfaatan SDG dan pengetahuan tradisional yang berkaitan dengan SDG kepada pemilik atau penyedia SDG; dan (4) menciptakan peluang untuk akses alih teknologi pada kegiatan konservasi dan pemanfaatan keanekaragaman hayati secara berkelanjutan.
Selama ini, yang dirasa membawa kekayaan untuk Tanah Air terbatas pada kelapa sawit dan emas. Kekayaan hayati tak membawa dampak besar buat kesejahteraan di Indonesia. Dampaknya, pemanfaatan sumber daya hayati, salah satunya tanaman pangan, tak berpayung hukum.
Agar ada payung hukum yang jelas atas ratusan keragaman hayati, Kementerian Lingkungan Hidup pun mengukuhkan UU Nomor 11 Tahun 2013 tentang Pengesahan Protokol Nagoya. Protokol Nagoya yang dibuat di Jepang pada Oktober 2010 lalu diratifikasi Indonesia bertepatan dengan Hari Keanekaragaman Hayati Sedunia 2013.“Undang-Undang ini memberi pemerintah kesempatan mempunyai hak mutlak untuk mengatur pembagian manfaat dari kekayaan hayati,” terang Balthasar Kambuaya, Menteri Lingkungan Hidup (22/5).
Maka, inventarisasi sumber daya hayati dan genetik sangat penting agar Protokol Nagoya bisa memberi manfaat.”Perjuangan pertama adalah inventarisasi. Ini harus baik dulu,” tegas Balthasar sesaat setelah mengumumkan ratifikasi Protokol Nagoya.
Menyoal kasus-kasus penjiplakan sumber daya hayati Indonesia oleh negara lain untuk keuntungan ekonomis, Arief Yuwono, Deputi III Bidang Pengendalian Kerusakan Lingkungan dan Perubahan Iklim, menyodorkan solusi. “Penyelesaian kasus-kasus semacam ini dilakukan dengan mediasi,” katanya. Beberapa kasus penjiplakan tersebut terjadi pada durian montong, minuman anggur (wine) yang terbuat dari salak bali, dan antivirus flu burung yang mikroorganismenya berasal dari Indonesia. Tak kalah penting, ratifikasi Protokol Nagoya dapat mendatangkan keuntungan moneter dan nonmoneter. Keuntungan moneter bisa berwujud pembayaran royalti dan pendanaan penelitian, sedangkan keuntungan nonmoneter bisa berwujud kerja sama dalam pendidikan dan pelatihan.


2.      Tantangan Indonesia Setelah Meratifikasi Protokol Nagoya
Tantangan yang dihadapi Indonesia setelah meratifikasi Protokol Nagoya adalah:
a.    Penyelesaian pembentukan peraturan perundang-undangan tentang pengelolaan dan perlindungan SDG, yang saat ini masih dalam tahap pembahasan. Hal ini dibutuhkan karena ratifikasi harus dilengkapi dengan peraturan perundang-undangan nasional yang memayungi pengelolaan dan perlindungan SDG di Indonesia.
b.    Pembentukan otoritas nasional pengelolaan dan perlindungan SDG di Indonesia. Bentuk kelembagaan ini bersifat multi-sektor karena sifat SDG yang kosmopolit dan tidak khusus di satu bidang saja, yang mencakup perairan dan kelautan, pertanian, kehutanan, dan penelitian/ilmu pengetahuan.
c.    Pembentukan standar baku atau Standard Operational Procedure (SOP) pembuatan naskah akses dan pembagian keuntungan terhadap pembagian keuntungan terhadap pemanfaatan SDG (MAT), dan pembuatan naskah perjanjian transfer materi biologik (MTA).
Sudaryono. (2015). Apabila sumber daya genetika tersebut tidak dikawal dengan baik, bisa saja kita kecurian dan akhirnya justru menjadi pihak yang dirugikan. Misalnya, pihak asing mengambil beberapa jenis tanaman atau ramuan dan dibawa pulang untuk diteliti, dibuat obat dan dipatenkan. Setelah itu, mereka menjual kembali ke Indonesia, dan karena kita membutuhkan kita harus membelinya. Yang lebih parah lagi, kita yang telah memiliki ramuan tersebut sejak turun temurun, kini diklaim dan dipatenkan oleh orang lain.
Setelah menjadi negara Pihak Protokol Nagoya, Pemerintah Indonesia diwajibkan untuk menyusun dan menerapkan peraturan perundang-undangan nasional mengenai pengelolaan sumber daya genetik maupun akses pembagian keuntungan. Selain itu, Pemerintah Indonesia juga diwajibkan untuk membentuk kelembagaan berupa: National Focal Point, National Competent Authority, check points, Balai Kliring. Menanggapi mandat Protokol Nagoya tersebut, saat ini Pemerintah sedang menyusun kebijakan regulasi nasional termasuk percepatan pembentukan Undang-Undang tentang Perlindungan dan Pengelolaan Sumber Daya Genetik (UU PSDG). Selain itu, Pemerintah juga sedang dalam proses pembentukan kelembagaan.
Kementerian Lingkungan Hidup (KLH) ditunjuk sebagai National Focal Point yang berfungsi sebagai koordinator dan penghubung ke Sekretariat CBD di Montreal. Untuk National Competent Authority diusulkan dari kementerian terkait yang berfungsi sebagai pemberi izin akses. Sedangkan untuk check points yang berfungsi sebagai pengawas sedang diusulkan dari lembaga yang terkait dengan karantina, imigrasi, dan konservasi. Adapun untuk Balai Kliring yang berfungsi sebagai lembaga tempat pertukaran informasi dan database, sedang dalam pembahasan antar kementerian dan lembaga.
Protokol Nagoya juga mengatur pencegahan pencurian dan pemanfaatan tidak sah terhadap keanekaragaman hayati (biopiracy), menjamin pembagian keuntungan (finansial maupun non-finansial) yang adil dan seimbang atas pemanfaatan sumber daya genetik, serta menciptakan peluang untuk akses alih teknologi pada kegiatan konservasi dan pemanfaatan keanekaragaman hayati secara berkelanjutan.
MenLH mengatakan UU No. 11 Tahun 2013 merupakan langkah awal pengaturan bagi pemanfaatan sumber daya genetik serta pengetahuan tradisional terkait dengan sumber daya genetik di Indonesia. UU tersebut menjadi penting karena Indonesia merupakan salah satu negara terkaya ketiga di dunia atas sumber daya genetik dan merupakan negara terkaya nomor satu di dunia apabila kekayaan keanekaragaman hayati laut diperhitungkan.
Pemerintah sendiri telah menyusun instrumen pendukung berupa strategi nasional (stranas) implementasi Protokol Nagoya, kelembagaan, pedoman tentang Prosedur Akses, Persetujuan atas Dasar informasi Awal (PADIA), dan Kesepakatan Bersama. Instrumen pendukung yang telah disusun oleh Pemerintah tersebut akan menjadi materi pengaturan dalam RUU tentang Pengelolaan Sumber Daya Genetik. RUU tentang Pengelolaan Sumber Daya Genetik dapat segera diproses dan mendapat dukungan penuh dari DPR RI.
“Kementerian Lingkungan Hidup juga telah membentuk kelompok kerja untuk menjalankan mandat Protokol Nagoya. Dengan demikian kami mengharapkan kebijakan ini dapat diintegrasikan ke dalam pembangunan nasional pasca 2014”, jelas Menteri Lingkungan Hidup.
Kementerian Lingkungan Hidup telah menyiapkan beberapa konsep sebagai instrumen. Pendukung untuk implementasi Protokol Nagoya, seperti Strategi Nasional Implementasi Protokol Nagoya, Kelembagaan yaitu KLH selaku National Focal Point, Kementerian Kehutanan, Kementerian Pertanian, dan Kementerian Kelautan dan Perikanan merupakan National Competent Authorities, LIPI selaku Scientific Authority, Balai Kliring dan checkpoint).
Pembagian manfaat sumber daya genetis secara adil dan setara ini menjadi salah satu dari 3 tujuan Konvensi Keanekaragaman Hayati (CBD). Dua tujuan CBD lainnya adalah konservasi keanekaragaman biologis dan penggunaannya secara berkelanjutan.
Protokol Nagoya memberikan kerangka legal guna memastikan akses dan pemanfaatan sumber daya genetis baik dari tanaman, binatang, bakteri atau organisme lain, yang setara dan saling menguntungkan, untuk kepentingan penelitian, komersial atau kepentingan yang lain.
“Protokol Nagoya menjadi unsur penting dalam isu keanekaragaman hayati bagi terciptanya pembangunan yang berkelanjutan,” ujar Braulio Ferreira de Souza Dias, Sekretaris Eksekutif CBD dalam berita Program Lingkungan PBB. Sebanyak 54 negara telah meratifikasi konvensi ini, lebih cepat dari tenggat pencapaian.


BAB IV. PENUTUP
A.      Kesimpulan

Dengan adanya pengesahan Protokol Nagoya apabila ada pihak asing ingin meneliti, memanfaatkan atau mengembangbiakkan berbagai jenis tanaman, hewan atau obat-obat tradisional, maka mereka wajib membayar harga kepada pihak Indonesia.
Tantangan yang dihadapi Indonesia setelah meratifikasi Protokol Nagoya adalah : (1) Penyelesaian pembentukan peraturan perundang-undangan tentang pengelolaan dan perlindungan SDG, yang saat ini masih dalam tahap pembahasan. Hal ini dibutuhkan karena ratifikasi harus dilengkapi dengan peraturan perundang-undangan nasional yang memayungi pengelolaan dan perlindungan SDG di Indonesia. (2) Pembentukan otoritas nasional pengelolaan dan perlindungan SDG di Indonesia. Bentuk kelembagaan ini bersifat multi-sektor karena sifat SDG yang kosmopolit dan tidak khusus di satu bidang saja, yang mencakup perairan dan kelautan, pertanian, kehutanan, dan penelitian/ilmu pengetahuan. Dan (3) Pembentukan standar baku atau Standard Operational Procedure (SOP) pembuatan naskah akses dan pembagian keuntungan terhadap pembagian keuntungan terhadap pemanfaatan SDG (MAT), dan pembuatan naskah perjanjian transfer materi biologik (MTA).


B.       Saran

Adapun saran dari penulis adalah sebaiknya pemerintah tetap menaruh focus untuk menjaga kekayaan sumber daya alam yang dimilikinya sehingga kekayaan bangsa kita dapat dinikmati oleh bangsa kita dan tidak diakui oleh bangsa lain.



DAFTAR PUSTAKA

Angga Wijaya, Peluang dan Tantangan Indonesia Pacsa Ratifikasi Protokol Nagoya. Pusat Penelitian Bioteknologi LIPI. 2016.
Jatna Supriatna, Manfaat Perjanjian Protokol Nagoya Bagi Indonesia. Pengajar Biologi Konservasi Universitas Indonesia dan anggota akademi ilmu pengetahuan Indonesia. NasionalGeographic Indonesia. Oktober, 2015.
Jurnal PDF:  Tesis, atas nama Mila Hanifa, Universitas Indonesia, dengan judul Perlindungan Hukum Terhadap Akses Dan Pembagian Keuntungan Atas Pemanfaatan Sumber Daya Genetik.
Jurnal PDF:  RUU Republik Indonesia, Tentang Pengesahan Nagoya Protocol On Access To Genetic Resources And The Fair And Equitable Sharing Of Benefits Arising From Their Utilization To The Convention On Biological Diversity.
Jurnal PDF: Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2013, Tentang Pengesahan Nagoya Protocol On Access To Genetic Resources And The Fair And Equitable Sharing Of Benefits Arising From Their Utilization To The Convention On Biological Diversity.
Sudariyono, Pengesahan dan Sosialisasi Protokol Nagoya. Deputi V KLH Bidang Penaatan Hukum Lingkungan. 2015.



DAFTAR LAMPIRAN
1.      Nagoya protocol on access to genetic resources and the fair and equitable sharing of benefits arising From their utilization To the Convention on Biological diversity.

2.      Undang-Undang No. 11 Tahun 2013 Tentang Pengesahan Nagoya Protocol On Access To Genetic Resources And The Fair And Equitable Sharing Of Benefits Arising From Their Utilization To The Convention On Biological Diversity (Protokol Nagoya Tentang Akses Pada Sumber Daya Genetik Dan Pembagian Keuntungan Yang Adil Dan Seimbang Yang Timbul Dari Pemanfaatannya Atas Konvensi Keanekaragaman Hayati)