Prospek
dan Tantangan Protokol Nagoya atas Pemanfaatan Sumber Daya Genetik
Mikroorganisme di Indonesia
Mengukir Masa Depan Bersama melalui Mikroorganisme
Sejak 2011, suatu proyek
kerjasama penelitian di dalam skema SATREPS (Science and Technology Research
Partnership for Sustainable Development) dilaksanakan, antara lain, oleh
RCB-LIPI dalam rangka "Pengembangan Pusat Berkelas Dunia Sumber Daya
Mikroba untuk Mempromosikan Penelitian Ilmu Alam dan Bioteknologi" yang
direncanakan untuk pelaksanaan lima (5) tahun. Melalui proyek ini, para tenaga
ahli Jepang dari NITE (National Institute of Technology and Evaluation),
Universitas Tokyo, serta RIKEN (suatu organisasi penelitian terkemuka Jepang),
berbagi pengetahuan dan teknologi mereka dalam mengelola sumber daya hayati dan
meneliti mikroorganisme.
Dalam melakukan penelitian, para
peneliti proyek tersebut mengumpulkan mikroorganisme yang memiliki potensi
berguna bagi pertanian dan produksi ternak, kemudian diidentifikasi
karakteristik mereka, dan dibuat database untuk memberikan kontribusi terhadap pelestarian
dan pemanfaatan sumber daya mikroba yang berkelanjutan. Misalnya, melalui
proyek ini telah ditemukan mikroorganisme yang membantu pembuatan pupuk untuk
mengembangkan pertumbuhan tanaman, jamur atau fungi yang membantu pertumbuhan
pohon di area penebangan hutan dan lahan kritis, dan bakteri asam laktat yang
membantu menjaga kesehatan ternak, sehingga diharapkan dapat
dikomersialisasikan sebagai bioteknologi ramah lingkungan. Penelitian dan
pengembangan tersebut juga dapat merintis promosi penggunaan energi baru
sebagai alternatif pengganti bahan bakar fosil, serta memberikan kesempatan
untuk membuka peluang bisnis baru yang berhubungan dengan makanan sehat,
kosmetik, bidang farmasi, pertanian, dan peternakan.
Dalam hal pengelolaan koleksi
mikroba, selain untuk mendukung sistem penyimpanan dan manajemen yang tepat,
proyek ini juga mengembangkan sebuah sistem dimana perusahaan swasta dan
lembaga penelitian dapat memesan dan membeli mikroorganisme yang dibutuhkan
untuk pengembangan dan penelitian produk dengan harga yang wajar.
Berbagai kegiatan tersebut
akhirnya berdampak pada munculnya inisiatif dan meningkatnya kemampuan
Indonesia untuk mendirikan pusat penyimpanan mikroorganisme terbesar di Asia
Tenggara.
Dr.
SUZUKI Kenichiro selaku pimpinan proyek sekaligus ketua tim
peneliti tenaga ahli Jepang, menyatakan "Di antara berbagai
mikroorganisme, ada beberapa yang berpotensi tinggi memiliki kapasitas yang
tidak dimiliki oleh hewan dan tumbuhan. Oleh karena Indonesia diketahui
memiliki keanekaragaman hayati hutan hujan tropis terbesar dunia kedua,
seyogyanya memiliki peluang yang tak terhitung untuk menemukan mikroorganisme
yang belum ditemukan, sehingga pengumpulan sampel juga dilakukan di wilayah
mata air panas maupun laut dalam. Sekarang ini sebuah "wahana" dalam
bentuk InaCC telah didirikan, namun hal penting yang sangat kritis adalah
bagaimana memperkuat/mengembangkan koleksinya di masa depan. Di satu sisi,
mengumpulkan berbagai karakteristik mikroorganisme Indonesia memang diperlukan,
namun yang juga harus diperhatikan bahwa pemanfaatan mikroorganisme tersebut
membutuhkan bioteknologi tingkat tinggi, dengan demikian pokok perhatian
selanjutnya adalah bagaimana upaya kita untuk meningkatkan kualitas teknologi
tersebut.
Memanfaatkan Aset Berharga di Indonesia
Pada 1993, Konvensi
Keanekaragaman Hayati mulai diberlakukan, untuk itu negara sekarang memiliki
hak berdaulat atas sumber daya hayati mereka sendiri. Protokol Nagoya yang
mengatur pembagian akses dan manfaat dari sumber daya hayati mulai diberlakukan
pada Oktober 2014 ini. Dengan demikian, pendirian InaCC ini bertepatan dengan
adanya gerakan global terkait sumber daya hayati. Untuk itu, diharapkan Pusat
ini dapat memberikan kesempatan bagi penelitian dan pengembangan baru, baik
untuk lembaga penelitian dalam negeri maupun luar negeri Indonesia.
JICA berusaha untuk melanjutkan
kerja sama melalui proyek SATREPS yang sedang berlangsung untuk memberikan
kontribusinya terhadap pemanfaatan berbagai sumber daya hayati sebagai aset
berharga Indonesia, sehingga dalam waktu dekat secara tidak langsung dapat
memberikan solusi bagi berbagai masalah yang dihadapi secara global.
Notes
- SATREPS adalah program pemerintah Jepang yang mempromosikan penelitian Internasional bersama. Program ini disusun sebagai kolaborasi antara JST (Japan Science and Technology Agency), yang menyediakan dana penelitian kompetitif untuk berbagai proyek ilmu pengetahuan dan teknologi (masing-masing 3-5 tahun), dan JICA, yang memberikan bantuan pembangunan (ODA).
- Protokol Nagoya mengenai akses terhadap sumber daya genetik (SDG) serta pembagian keuntungan yang adil dan seimbang dari pemanfaatan SDG dalam rangka Konvensi Keanekaragaman Hayati merupakan suatu perjanjian Internasional yang diadopsi oleh Konferensi Para Pihak kesepuluh pada Konvensi Keanekaragaman Hayati (COP-10) pada 29 Oktober 2010 di Nagoya, Jepang.
Indonesia merupakan negara yang
memiliki kekayaan sumber daya genetik (SDG) yang amat besar. Disebabkan
kekayaan SGD tersebut, Indonesia dijuluki ‘megadiversity’. Kekayaan SDG
ini membutuhkan pengelolaan dan perlindungan yang baik. Hal ini diperlukan karena
negara-negara yang kaya akan SDG rentan akan pembajakan hayati (biopiracy)
oleh negara-negara maju yang kaya akan teknologi untuk biprospeksi.
Korporasi-korporasi dari negara-negara maju kerap kali melakukan praktik
pengambilan SDG tanpa izin tersebut. Beberapa kasus di dunia menunjukkan
bukti-bukti nyata hal tersebut. Indonesia pun pernah mengalami praktik serupa.
Kasus permohonan paten oleh salah satu perusahaan kosmetik asal Jepang atas
ganggang hijau milik Indonesia adalah contohnya. Sehingga dibutuhkan mekanisme
pengelolaan dan perlindungan SDG agar terhindar dari permasalahan serupa di
kemudian hari.
Perkembangan termuktahir di dunia
menunjukkan sinyal positif bagi mekanisme dan perlindungan SDG. Sinyal positif
tersebut adalah hadirnya aturan hukum berbentuk perjanjian internasional yang
mengatur tata kelola SDG. Perjanjian Internasional tersebut adalah Protokol
Nagoya. Indonesia telah meratifikasi Protokol Nagoya dengan Undang-Undang
Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2013 Tentang Pengesahan Protokol Nagoya
tentang Akses Pada Sumber Daya Genetik dan Pembagian Keuntungan Yang Adil dan
Seimbang yang Timbul dari Pemanfaatannya atas Konvensi Keanekaragaman Hayati.
Secara umum pengaturan di dalam
Protokol Nagoya mempunyai maksud dan tujuan antara lain:
- Memberikan akses dan pembagian keuntungan terhadap pemanfaatan SDG dan pengetahuan tradisional terkait SDG, termasuk pemanfaatan atau komersialisasinya serta produk turunannya (derivative);
- akses terhadap SDG tersebut tetap mengedepankan kedaulatan negara dan disesuaikan dengan hukum nasional dengan berlandaskan prinsip prior informed consent (PIC) dengan pemilik atau penyedia SDG; dan
- mencegah pencurian SDG (biopiracy).
Pengesahan Protokol Nagoya
merupakan tahap awal menuju keanggotaan Indonesia sebagai negara Pihak pada
Protokol Nagoya. Manfaat yang dapat diperoleh dari keanggotaan ini antara lain
adalah sebagai berikut:
- Menegaskan penguasaan negara atas sumber daya alam dan kedaulatan negara atas pengaturan akses terhadap SDG dan pengetahuan tradisional dari masyarakat hukum adat dan komunitas lokal, sejalan dengan Pasal 33 dan Pasal 18 UUD RI 1945;
- Mencegah biopiracy dan pemanfaatan tidak sah (illegal utilization) terhadap keanekaragaman hayati;
- Menjamin pembagian keuntungan (finansial maupun non-finansial) yang adil dan seimbang atas pemanfaatan SDG dan pengetahuan tradisional yang berkaitan dengan SDG kepada pemilik atau penyedia SDG; dan
- Menciptakan peluang untuk akses alih teknologi pada kegiatan konservasi dan pemanfaatan keanekaragaman hayati secara berkelanjutan.
Hal-hal itu adalah peluang
Indonesia. Selain peluang terdapat pula tantangan bagi Indonesia. Paling tidak
terdapat 3 tantangan Indonesia. Pertama, penyelesaian pembentukan peraturan
perundang-undangan (per-uu) tentang pengelolaan dan perlindungan SDG, yang saat
ini masih dalam tahap pembahasan. Hal ini dibutuhkan karena ratifikasi harus
dilengkapi dengan per-uu nasional yang memayungi tata kelola pengelolaan dan
perlindungan SDG di Indonesia secara holistik. Kedua, pembentukan
otoritas nasional pengelolaan dan perlindungan SDG di Indonesia. Bentuk
kelembagaan ini bersifat multi-sektor karena sifat SDG yang kosmopolit dan
tidak khusus di satu bidang saja, yang mencakup perairan dan kelautan,
pertanian, kehutanan, dan penelitian/ilmu pengetahuan. Keanggotaan lembaga ini
terdiri dari beberapa stakeholder dari instansi-instansi terkait
tersebut. Ketiga, pembentukan standar baku atau Standard Operational
Procedure (SOP) pembuatan naskah akses dan pembagian manfaat SDG (MAT), dan
pembuatan naskah perjanjian transfer materi biologik (MTA).
Ketiga langkah-langkah untuk
menghadapi tantangan tersebut harus bersifat sinergis. Sinergi ini dibutuhkan
agar tercipta tata kelola pengelolaan dan perlindungan SDG di Indonesia yang
holistik. Langkah selanjutnya adalah good will dan kerja keras dari
negara dan masyarakat untuk mewujudkan pengelolaan dan perlindungan SDG di
Indonesia. Tanpa hubungan sinergis antara negara dan masyarakat, akan amat sukar
untuk mewujudkan tata kelola pengelolaan dan perlindungan SDG yang holistik di
Indonesia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar