Jumat, 07 April 2017

Prospek dan Tantangan Protokol Nagoya


Prospek dan Tantangan Protokol Nagoya atas Pemanfaatan Sumber Daya Genetik Mikroorganisme di Indonesia
 

Mengukir Masa Depan Bersama melalui Mikroorganisme

Sejak 2011, suatu proyek kerjasama penelitian di dalam skema SATREPS (Science and Technology Research Partnership for Sustainable Development) dilaksanakan, antara lain, oleh RCB-LIPI dalam rangka "Pengembangan Pusat Berkelas Dunia Sumber Daya Mikroba untuk Mempromosikan Penelitian Ilmu Alam dan Bioteknologi" yang direncanakan untuk pelaksanaan lima (5) tahun. Melalui proyek ini, para tenaga ahli Jepang dari NITE (National Institute of Technology and Evaluation), Universitas Tokyo, serta RIKEN (suatu organisasi penelitian terkemuka Jepang), berbagi pengetahuan dan teknologi mereka dalam mengelola sumber daya hayati dan meneliti mikroorganisme.
Dalam melakukan penelitian, para peneliti proyek tersebut mengumpulkan mikroorganisme yang memiliki potensi berguna bagi pertanian dan produksi ternak, kemudian diidentifikasi karakteristik mereka, dan dibuat database untuk memberikan kontribusi terhadap pelestarian dan pemanfaatan sumber daya mikroba yang berkelanjutan. Misalnya, melalui proyek ini telah ditemukan mikroorganisme yang membantu pembuatan pupuk untuk mengembangkan pertumbuhan tanaman, jamur atau fungi yang membantu pertumbuhan pohon di area penebangan hutan dan lahan kritis, dan bakteri asam laktat yang membantu menjaga kesehatan ternak, sehingga diharapkan dapat dikomersialisasikan sebagai bioteknologi ramah lingkungan. Penelitian dan pengembangan tersebut juga dapat merintis promosi penggunaan energi baru sebagai alternatif pengganti bahan bakar fosil, serta memberikan kesempatan untuk membuka peluang bisnis baru yang berhubungan dengan makanan sehat, kosmetik, bidang farmasi, pertanian, dan peternakan.
Dalam hal pengelolaan koleksi mikroba, selain untuk mendukung sistem penyimpanan dan manajemen yang tepat, proyek ini juga mengembangkan sebuah sistem dimana perusahaan swasta dan lembaga penelitian dapat memesan dan membeli mikroorganisme yang dibutuhkan untuk pengembangan dan penelitian produk dengan harga yang wajar.
Berbagai kegiatan tersebut akhirnya berdampak pada munculnya inisiatif dan meningkatnya kemampuan Indonesia untuk mendirikan pusat penyimpanan mikroorganisme terbesar di Asia Tenggara.
Dr. SUZUKI Kenichiro selaku pimpinan proyek sekaligus ketua tim peneliti tenaga ahli Jepang, menyatakan "Di antara berbagai mikroorganisme, ada beberapa yang berpotensi tinggi memiliki kapasitas yang tidak dimiliki oleh hewan dan tumbuhan. Oleh karena Indonesia diketahui memiliki keanekaragaman hayati hutan hujan tropis terbesar dunia kedua, seyogyanya memiliki peluang yang tak terhitung untuk menemukan mikroorganisme yang belum ditemukan, sehingga pengumpulan sampel juga dilakukan di wilayah mata air panas maupun laut dalam. Sekarang ini sebuah "wahana" dalam bentuk InaCC telah didirikan, namun hal penting yang sangat kritis adalah bagaimana memperkuat/mengembangkan koleksinya di masa depan. Di satu sisi, mengumpulkan berbagai karakteristik mikroorganisme Indonesia memang diperlukan, namun yang juga harus diperhatikan bahwa pemanfaatan mikroorganisme tersebut membutuhkan bioteknologi tingkat tinggi, dengan demikian pokok perhatian selanjutnya adalah bagaimana upaya kita untuk meningkatkan kualitas teknologi tersebut.

Memanfaatkan Aset Berharga di Indonesia

Pada 1993, Konvensi Keanekaragaman Hayati mulai diberlakukan, untuk itu negara sekarang memiliki hak berdaulat atas sumber daya hayati mereka sendiri. Protokol Nagoya yang mengatur pembagian akses dan manfaat dari sumber daya hayati mulai diberlakukan pada Oktober 2014 ini. Dengan demikian, pendirian InaCC ini bertepatan dengan adanya gerakan global terkait sumber daya hayati. Untuk itu, diharapkan Pusat ini dapat memberikan kesempatan bagi penelitian dan pengembangan baru, baik untuk lembaga penelitian dalam negeri maupun luar negeri Indonesia.
JICA berusaha untuk melanjutkan kerja sama melalui proyek SATREPS yang sedang berlangsung untuk memberikan kontribusinya terhadap pemanfaatan berbagai sumber daya hayati sebagai aset berharga Indonesia, sehingga dalam waktu dekat secara tidak langsung dapat memberikan solusi bagi berbagai masalah yang dihadapi secara global.
Notes
  1. SATREPS adalah program pemerintah Jepang yang mempromosikan penelitian Internasional bersama. Program ini disusun sebagai kolaborasi antara JST (Japan Science and Technology Agency), yang menyediakan dana penelitian kompetitif untuk berbagai proyek ilmu pengetahuan dan teknologi (masing-masing 3-5 tahun), dan JICA, yang memberikan bantuan pembangunan (ODA).
  2. Protokol Nagoya mengenai akses terhadap sumber daya genetik (SDG) serta pembagian keuntungan yang adil dan seimbang dari pemanfaatan SDG dalam rangka Konvensi Keanekaragaman Hayati merupakan suatu perjanjian Internasional yang diadopsi oleh Konferensi Para Pihak kesepuluh pada Konvensi Keanekaragaman Hayati (COP-10) pada 29 Oktober 2010 di Nagoya, Jepang.
Indonesia merupakan negara yang memiliki kekayaan sumber daya genetik (SDG) yang amat besar. Disebabkan kekayaan SGD tersebut, Indonesia dijuluki ‘megadiversity’. Kekayaan SDG ini membutuhkan pengelolaan dan perlindungan yang baik. Hal ini diperlukan karena negara-negara yang kaya akan SDG rentan akan pembajakan hayati (biopiracy) oleh negara-negara maju yang kaya akan teknologi untuk biprospeksi. Korporasi-korporasi dari negara-negara maju kerap kali melakukan praktik pengambilan SDG tanpa izin tersebut. Beberapa kasus di dunia menunjukkan bukti-bukti nyata hal tersebut. Indonesia pun pernah mengalami praktik serupa. Kasus permohonan paten oleh salah satu perusahaan kosmetik asal Jepang atas ganggang hijau milik Indonesia adalah contohnya. Sehingga dibutuhkan mekanisme pengelolaan dan perlindungan SDG agar terhindar dari permasalahan serupa di kemudian hari.
Perkembangan termuktahir di dunia menunjukkan sinyal positif bagi mekanisme dan perlindungan SDG. Sinyal positif tersebut adalah hadirnya aturan hukum berbentuk perjanjian internasional yang mengatur tata kelola SDG. Perjanjian Internasional tersebut adalah Protokol Nagoya. Indonesia telah meratifikasi Protokol Nagoya dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2013 Tentang Pengesahan Protokol Nagoya tentang Akses Pada Sumber Daya Genetik dan Pembagian Keuntungan Yang Adil dan Seimbang yang Timbul dari Pemanfaatannya atas Konvensi Keanekaragaman Hayati.
Secara umum pengaturan di dalam Protokol Nagoya mempunyai maksud dan tujuan antara lain:
  1. Memberikan akses dan pembagian keuntungan terhadap pemanfaatan SDG dan pengetahuan tradisional terkait SDG, termasuk pemanfaatan atau komersialisasinya serta produk turunannya (derivative);
  2. akses terhadap SDG tersebut tetap mengedepankan kedaulatan negara dan disesuaikan dengan hukum nasional dengan berlandaskan prinsip prior informed consent (PIC) dengan pemilik atau penyedia SDG; dan
  3. mencegah pencurian SDG (biopiracy).
Pengesahan Protokol Nagoya merupakan tahap awal menuju keanggotaan Indonesia sebagai negara Pihak pada Protokol Nagoya. Manfaat yang dapat diperoleh dari keanggotaan ini antara lain adalah sebagai berikut:
  1. Menegaskan penguasaan negara atas sumber daya alam dan kedaulatan negara atas pengaturan akses terhadap SDG dan pengetahuan tradisional dari masyarakat hukum adat dan komunitas lokal, sejalan dengan Pasal 33 dan Pasal 18 UUD RI 1945;
  2. Mencegah biopiracy dan pemanfaatan tidak sah (illegal utilization) terhadap keanekaragaman hayati;
  3. Menjamin pembagian keuntungan (finansial maupun non-finansial) yang adil dan seimbang atas pemanfaatan SDG dan pengetahuan tradisional yang berkaitan dengan SDG kepada pemilik atau penyedia SDG; dan
  4. Menciptakan peluang untuk akses alih teknologi pada kegiatan konservasi dan pemanfaatan keanekaragaman hayati secara berkelanjutan.
Hal-hal itu adalah peluang Indonesia. Selain peluang terdapat pula tantangan bagi Indonesia. Paling tidak terdapat 3 tantangan Indonesia. Pertama, penyelesaian pembentukan peraturan perundang-undangan (per-uu) tentang pengelolaan dan perlindungan SDG, yang saat ini masih dalam tahap pembahasan. Hal ini dibutuhkan karena ratifikasi harus dilengkapi dengan per-uu nasional yang memayungi tata kelola pengelolaan dan perlindungan SDG di Indonesia secara holistik. Kedua, pembentukan otoritas nasional pengelolaan dan perlindungan SDG di Indonesia. Bentuk kelembagaan ini bersifat multi-sektor karena sifat SDG yang kosmopolit dan tidak khusus di satu bidang saja, yang mencakup perairan dan kelautan, pertanian, kehutanan, dan penelitian/ilmu pengetahuan. Keanggotaan lembaga ini terdiri dari beberapa stakeholder dari instansi-instansi terkait tersebut. Ketiga, pembentukan standar baku atau Standard Operational Procedure (SOP) pembuatan naskah akses dan pembagian manfaat SDG (MAT), dan pembuatan naskah perjanjian transfer materi biologik (MTA).
Ketiga langkah-langkah untuk menghadapi tantangan tersebut harus bersifat sinergis. Sinergi ini dibutuhkan agar tercipta tata kelola pengelolaan dan perlindungan SDG di Indonesia yang holistik. Langkah selanjutnya adalah good will dan kerja keras dari negara dan masyarakat untuk mewujudkan pengelolaan dan perlindungan SDG di Indonesia. Tanpa hubungan sinergis antara negara dan masyarakat, akan amat sukar untuk mewujudkan tata kelola pengelolaan dan perlindungan SDG yang holistik di Indonesia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar